Bisnis.com, JAKARTA - Akhir Februari lalu, Menteri Keuangan Sri Mulyani secara tegas mengatakan akan melacak semua sektor yang berkontribusi rendah terhadap penerimaan negara di sektor pajak.
Pemerintah ingin memastikan, setelah implementasi UU No.11/2016 tentang Pengampunan Pajak atau Tax Amnesty, tak ada lagi Wajib Pajak (WP) yang kucing-kucingan dengan petugas pajak.
Ucapan Sri Mulyani nampaknya tak sekadar isapan jempol semata. Selang dua hari, mereka langsung menggandeng Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) untuk memerangi praktik kartel di sektor pangan.
Sektor pangan menjadi perhatian, pasalnya implikasi praktik kartel cukup kompleks, mulai dari kelangkaan pasokan, meroketnya harga pangan, hingga merosotnya penerimaan negara akibat praktik penghindaran pajak.
Praktik kecurangan itu pun ditengarai telah berlangsung cukup lama jika melihat rendahnya kontribusi pajak khususnya dari importir daging yang range – nya hanya 0,1% - 2%.
Realisasi penerimaan pajak itu berbanding terbalik, jika dibandingkan dengan omset para importir tersebut. Padahal, pemerintah mengestimasi, omset para importir daging sapi hingga triliunan rupiah.
Hitungan itu didasarkan pada realisasi impor daging sapi beku yang tiap tahun terus meningkat. Pada kurun waktu 2015 - 2016 misalnya, impor daging sapi beku melonjak sekitar 247% atau dari 44.673,9 ton menjadi 155.070,5 ton.
Jika dihitung secara matematis, seharusnya kenaikan kuota impor bisa menurunkan harga daging, menambah pasokan pasar, serta penerimaan pajak; PPh impor, PPh 25 dan PPh 29 turut terkerek.
Namun, yang terjadi justru di luar ekspektasi, dari ketiga jenis pajak tersebut, hanya pajak impor yang mengalami kenaikan, sedangkan PPh 25 dan PPh 29 sejak 2013 terus tergerus.
Catatan Kementerian Keuangan, pada 2013 realisasi penerimaan PPh 25 dan PPh 29 senilai Rp803 miliar, 2014 menyusut menjadi Rp583 miliar, dan pada 2015 terus turun ke angka Rp464 miliar.
Gurita kartel ditengarai menjadi pelaku utama merosotnya penerimaan pajak tersebut. Melalui kelihaian jaringannya mereka menyamarkan praktik usahanya untuk menghindari pajak pemerintah.
Praktik 'kotor' itu dilakukan memanfaatkan Klasifikasi Lapangan Usaha (KLU) yang berbeda dengan bisnis pokoknya. Misalnya, di Bea dan Cukai KLU suatu perusahaan tercatat bergerak di sektor impor daging, namun di Ditjen Pajak tercatat di sektor alat kelistrikan. Jumlahnya bahkan mencapai 81%.
Otoritas Pajak tak begitu saja membiarkan modus tersebut terus berlangsung, perintah Presiden Joko Widodo sudah jelas, bagi Wajib Pajak yang tak patuh dan tak memanfaatkan pengampunan pajak atau Tax Amnesty, tak ada pilihan lain selain law enforcement.
Mekanisme penegakan hukum tersebut bisa dikenakan dengan selisih kena pajak senilai 25% plus sanksi sebanyak 48%. Selain itu, Pasal 18 Undang – Undang Nomor 11 tentang Pengampunan Pajak juga sudah siap menunggu WP bandel atau yang kerap melakukan penghindaran pajak.
Pasal tersebut menjelaskan WP yang tidak menyampaikan SPT sampai periode terkahir pengampunan pajak, kemudian petugas pajak menemukan harta tambahan yang diperoleh dalam kurun waktu 1 Januari 1985 sampai dengan Desember 2015, harta tersebut akan dihitung sebagai penghasilan.
Adapun dalam ayat (3) undang – undang yang sama ditegaskan, tambahan penghasilan tersebut akan dikenakan Pajak Penghasilan (PPh) sesuai dengan ketentuan dan ditambah sanksi administrasi perpajakan berupa kenaikan sebanyak 200% pajak terutang.
Khusus kartel daging sapi, Otoritas Pajak telah mengidentifikasi sebanyak 429 WP Badan. Dari jumlah tersebut, sekitar 97 WP yang diketahui memiliki omset mereka kini telah ditelisik oleh Ditjen Pajak terkait potensi pelanggarannya.
Penegakan Hukum
Selain mengejar WP yang berkontribusi rendah, upaya optimalisasi penerimaan pajak juga dilakukan dengan menggandeng aparat penegak hukum.
Peningkatan kerja sama dengan aparat penegak hukum dilakukan menjelang periode akhir pengampunan pajak.
Ada sejumlah argumentasi soal pelibatan penegak hukum dalam kasus tersebut, selain untuk meningkatkan kepatuhan, juga bertujuan melacak wajib pajak yang bandel.
Pasalnya, kendati capaian pengampunan pajak lebih baik dibanding negara lainnya, namun pemerintah belum puas lantaran tingkat partisipasi WP belum cukup memuaskan.
Dari 29,3 juta WP yang wajib melaporkan SPT - nya, hanya sekitar 680 ribuan WP yang ikut pengampunan pajak.
Adapun aparat penegak hukum yang bakal dilibatkan adalah Kejaksaan Agung (Kejagung) dan Kepolisian Republik Indonesia (Polri), hingga TNI.
Perang kartel dan pelibatan aparat penegak hukum menjadi bagian dari rencana pemerintah pasca tax amnesty untuk mengoptimalkan penerimaan negara dari sektor pajak.