“Kita itu kalau mau jadi global player harus menggunakan global standard.”
Begitulah ungkapan Menteri Pariwisata Arief Yahya di hadapan investor dalam gelaran regional investment forum 2017 di Nusa Dua, Bali, Kamis (23/2/2017). Kalimat ini ingin menyakinkan kepada investor betapa fokusnya pemerintah menggarap sektor pariwisata dalam upaya menjaga momentum akselerasi pertumbuhan ekonomi nasional.
Bersama dengan lontaran tersebut, dia mengutip data The Travel & Tourism Competitiveness Report 2015 yang dirilis oleh World Economic Forum (WEF). Dalam dua tahunan itu, secara global, Indonesia menempati peringkat 50 dari 141 negara. Performa ini menunjukkan peningkatan dibandingkan dengan posisi 2013 yang berada di posisi 70.
Menurutnya, fakta ini menunjukkan keseriusan pemerintah dalam menggarap sektor yang saat ini berkontribusi sekitar 10% terhadap produk domestik bruto (PDB) tersebut. Apalagi, pemerintah menyadari sektor ini merupakan instrumen paling murah dan mudah untuk mendapatkan devisa dan menciptakan lapangan kerja.
Kendati demikian, pihaknya mengakui masih banyak pekerjaan yang perlu dilakukan. Betapa tidak, dibandingkan dengan negara Asean lainnya, Indonesia masih kalah dengan Singapura, Malaysia, dan Thailand. Indonesia hanya unggul dari sisi sumber alam dan budaya. Sementara, dari sisi kondusivitas lingkungan (enabling environment) dan infrastruktur masih tertinggal jauh.
Pemerintah memiliki keterbatasan fiskal untuk pembangunan infrastruktur. Dia menyebut ada kebutuhan sekitar US$20 miliar untuk pembangunan 10 destinasi pariwisata prioritas hingga 2019. Nilai tersebut dibagi menjadi dua yakni investasi publik dan investasi swasta dengan porsi masing-masing US$10 miliar.
Namun, pemerintah hanya kuat membiayai sekitar 30% dari total investasi publik, baik melalui APBN maupun APBD. Oleh karena itu, sambungnya, penggenjotan investasi di sektor ini menjadi aspek yang krusial. Menilik data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), rata-rata pertumbuhan investasi sektor pariwisata dalam enam tahun terakhir mencapai 17,8%.
Dengan pertumbuhan tersebut, nyatanya, kontribusi sektor ini terhadap total realisasi investasi periode 2012-2016 masih kecil karena hanya sekitar 2,2%. Padahal, hasil kalkulasi Arief, return dari investasi sektor ini mencapai lebih dari 30% dengan rincian 10%-15% dari operasional dan 22%-24% dari nonoperasional.
Pihaknya menyadari dalam proses penanaman modal, investor selalu membutuhkan insentif dan kemudahan. Oleh karena itulah, dia mendorong agar para investor ini masuk dengan pembangunan kawasan ekonomi khusus (KEK). Pasalnya, berbagai kemudahan layanan investasi dan insentif fiskal maupun nonfiskal ditebar dalam KEK.
Saat ini, dari 10 destinasi pariwisata prioritas, baru ada empat titik yang sudah berstatus KEK, a.l. Tanjung Kelayang, Tanjung Lesung, Mandalika, dan Morotai. Enam sisanya yang belum a.l. Danau Toba, Kepulauan Seribu dan Kota Tua Jakarta, Borobudur, Bromo-Tengger-Semeru, Labuan Bajo, serta Wakatobi.
“Danau Toba akan sesegera mungkin dibangun KEK-nya,” imbuh Arief.