Bisnis.com, JAKARTA - Sejumlah pelaku usaha transportasi berbasis aplikasi selaku mitra perusahaan aplikasi seperti Grab dan Uber, mengaku berkeberatan dengan rencana pemerintah untuk melakukan pembatasan armada yang bermitra dengan perusahaan aplikasi tersebut.
Penolakan itu seperti dikatakan Ponco Seno, Ketua Koperasi Jasa Persatuan Perusahaan Rental Indonesia (PPRI) yang bermitra dengan Grab maupun Agung Ismawanto Ketua Koperasi Jasa Trans Usaha Bersama, yang bermitra dengan perusahaan aplikasi Uber, Selasa (21/2).
Menurut Seno, saat ini dari sisi kecepatan, hasil pantauan dan pengalamannya, pelanggan masih mengalami kesulitan mendapatkan armada, yang ditengarai lantaran masih terbatasnya jumlah armada mobil yang tidak mencukupi banyaknya permintaan, apalagi ketika jam sibuk, berangkat dan pulang kerja.
Selain pada jam-jam tertentu masih susah mendapatkan armada, juga pada sejumlah lokasi atau kawasan yang dilintasi ruas jalan dengan pembatasan tertentu, seperti di daerah yang terkena aturan ganjil genap.
"Harus diakui untuk beberapa lokasi tertentu masih lama nunggu armadanya, apalagi untuk melayani di daerah yang terkena aturan ganjil genap, pasti kendaraannya terbatas," ujarnya.
Menurutnya mobil yang bisa mengambil pelanggan di area ganjil genap, tentu hanya mobil yang pelat nomor kendaraannya sesuai, apakah ganjil atau genap saja. Kesulitan mendapatkan armada ini akan semakin bertambah apabila bertepatan dengan jam-jam sibuk tersebut.
Seno melihat pembatasan armada yang bermitra dengan perusahaan aplikasi tidak perlu dilakukan, juga lantaran melihat bahwa tidak semua pelaku usaha / sopir taksi berbasis aplikasi menjadikan pekerjaannya itu sebagai sumber pendapatan utama keluarga.
"Harus diakui juga mereka ini banyak juga pekerjaan sampingan," ujarnya. Hal senada disampaikan Agung Ismawanto Ketua Koperasi Jasa Trans Usaha Bersama, yang bermitra dengan perusahaan aplikasi Uber.
Agung bahkan mengakui bahwa lebih dari setengah dari ribuan pelaku usaha yang bermitra atau bergabung dengan Uber adalah hanya sebagai pekerjaan sampingan.
"Kenyataanya bahwa yang bergabung di Uber itu lebih dari 50% hanya bekerja sambilan atau part timer saja," ujarnya.
Selain itu, kata dia, siklus yang masuk ketika mereka bergabung dengan perusahaan aplikasi itu pun berlangsung keluar masuk, sehingga tidak perlu dilakukan pembatasan.
"Siklus yang aktif keluar masuk, jadi tidak perlu dibatasi kuotanya. Lagi pula jika sarana transportasi umum sudah nyaman, aman dan murah, seperti ketika sudah ada Masa Rapid Transit (MRT) ataupun Light Rail Transit (LRT) DKI Jakarta maupun Jabodebek maka akan terjadi keseimbangan pasar dengan sendirinya," ujarnya.
Sebelumnya,diketahui bahwa rencana pembatasan jumlah kendaraan angkutan umum sewa berbasis aplikasi di setiap daerah di Indonesia muncul dalam uji publik revisi PM No.32/2016.
Direktur Jenderal Perhubungan Darat Pudji Hartanto mengungkapkan pembatasan itu untuk menciptakan kesetaraan bagi seluruh pengusaha angkutan umum berbasis jalan raya.
Selain itu, pembatasan tersebut juga justru untuk melindungi mitra perusahaan aplikasi penyedia jasa transportasi.
Menurutnya, para mitra juga akan terus mengalami kerugian apabila jumlah kendaraan yang beroperasi tidak diatur.
Pada sisi lain, pengaturan jumlah kendaraan angkutan umum sewa berbasis aplikasi juga untuk menghindari peningkatan kepadatan kendaran di jalan raya.
Saat ini, revisi PM No.32/2016, termasuk usulan pembatasan dengan kuota itu masih akan dilakukan pembahasan dan masih akan melakukan uji publik sebelum resmi dikeluarkan dan diberlakukan.