Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

DPR Akan Panggil Bulog Terkait Fungsinya Sebagai Stabilisator Harga

Penetapan harga eceran tertinggi (HET) dan penyederhanaan jalur impor serta distribusi gula, diyakini mampu menekan rembesan gula impor yang selama ini kerap terjadi.
/Bisnis
/Bisnis

Bisnis.com, JAKARTA- Penetapan harga eceran tertinggi (HET) dan penyederhanaan jalur impor serta distribusi gula, diyakini mampu menekan rembesan gula impor yang selama ini kerap terjadi.

Untuk itu, DPR berencana memanggil Perum Bulog, sebagai salah satu mata rantai distribusi dan stabilisator untuk membahas tata niaga gula dan kinerja BUMN itu. Wakil Ketua Komisi IV  DPR Inas N. Zubir menilai, pemerintah perlu mengevaluasi kinerja Bulog yang hingga kini belum berhasil menstabilisasi harga komoditas. 

“Kami juga akan memanggil Bulog setelah Pilkada berlangsung. Salah satu yang akan kami tanya kenapa harga gula di pasaran tidak stabil. Kalau Bulog tidak mampu menstabilisasi harga, tentu harus ditinjau kembali, apa saja sih yang telah dilakukan Bulog selama ini,” kata Inas kepada wartawan di Jakarta, Selasa (4/2).

DPR juga menilai, pengawasan stok dan alur distribusi dari pabrik BUMN maupun swasta dan gudang milik Bulog pun dibutuhkan, untuk mencegah terjadinya penimbunan dan rantai distribusi yang panjang.

Di sisi lain, pemerintah diminta tetap perlu melakukan operasi pasar untuk memastikan stabilisasi harga gula. Selain itu, untuk mengantisipasi adanya penimbunan gula, Pemerintah perlu meningkatkan pesebaran gula dipasaran. “Gula ini ketahanannya tidak seperti minyak. Dibanjiri saja pasarnya oleh Pemerintah. Pabrik gula juga tidak pada tempatnya menimbun,” lanjutnya.

Anggota Komisi IV lainnya Taufiq R Abdullah menambahkan, peran Bulog sejauh ini dinilainya sangat belum maksimal. Contohnya bukan hanya gula, tapi juga komoditas beras yang menjadi tugas dominan.

"Gabah dan beras saja yang menjadi tugas dominannya tidak maksimal. Jadi bisa dibilang di hampir semua produk, peran bulog tidak maksimal," tuturnya.

Terkait impor gula, menurutnya jika demi mengamankan cadangan dan sepanjang tidak merusak pasar dalam negeri, masih diperlukan. Namun, ia meminta fungsi Bulog sebagai stabilisasi harga tetap diminta optimal. "Mestinya Bulog kerja sama dengan perusahaan tebu untuk melakukan pemetaan ketersediaan tebu, sehingga bisa dibaca secara cermat saat kapan terjadi booming dan kekurangan," imbuhnya.

Pada kesempatan berbeda, Direktur Eksekutif Nusantara Sugar Community (NSC) Colosewoko menuturkan, penetapan HET gula di level Rp 12.500 per kilogram merupakan salah satu upaya yang telah dilakukan Kementerian Perdagangan (Kemendag) untuk menurunkan sekaligus menjaga kestabilan harga. Hanya saja, hal tersebut tetap perlu dipastikan dengan pemangkasan jalur distribusi dan pengawasan stok di gudang gula.

Dia menilai penetapan HET Gula Kristal Putih (GKP) tidak akan efektif jika persoalan masih tingginya biaya distribusi dan stok gula yang ditahan belum teratasi. Menurutnya, jika biaya distribusi menjadi kendala di pelosok daerah seperti Papua, seharusnya hal ini tak harus terjadi di pula Jawa, seperti Jakarta, Semarang, dan Surabaya.

Jika masih ada harga gula melebihi HET, ia menenggarai masih adanya stok gula yang tersimpan di gudang-gudang dan belum seluruhnya tersalurkan ke masyarakat.

“Kalau dari perhitungan kami, sisa stok gula tahun lalu (2016-red) saja sebanyak 1,4 juta ton, yang terdiri dari GKP tebu petani sebanyak 800 ribu ton, dan GKP dari rafinasi sebanyak 600 ribu ton. Bila stok itu tersalurkan dengan benar, seharusnya HET yang ditetapkan pemerintah sudah bisa terpenuhi,” ujarnya.

Ia memperkirakan, timbunan gula sebanyak 1,4 juta ton tersebut tersebar di sejumlah gudang, baik milik pabrik gula (PG) swasta maupun BUMN termasuk gudang yang juga dikelola oleh Perum Bulog. Oleh sebab itu, ia meminta agar pemerintah, khususnya Kemendag untuk meningkatkan pengawasan dan menelusuri keberadaan gula sisa stok tahun lalu itu untuk kemudian segera dilepas ke pasaran agar harga gula bisa ditekan, setidaknya mencapai HET yang telah ditetapkan.

Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional Andalan Petani Tebu Rakyat Indonesia (DPN APTRI) Soemitro Samadikoen mengingatkan, tahun 2016 lalu Kementerian BUMN menugaskan BULOG untuk mengimpor 100 ribu ton White Sugar. Selain itu Bulog juga mengimpor 267 ribu ton Raw Sugar yang sebelumnya merupakan jatah milik PT Perkebunan Nusantara (PTPN) dan PT Rajawali Nusantara Indonesia (RNI)

“Impor tersebut selain mengakibatkan petani tebu merugi, juga tidak berpengaruh pada stabilisasi harga gula di tingkat eceran. Anehnya lagi, sebagian gula impor tersebut saat masih berada di gudang,” kata Soemitro.

Menyadari hal ini, selain kesepakatan HET antara produsen dan distributor, Kementerian Perdagangan (Kemendag) baru-baru ini juga telah melakukan pemangkasan jalur distribusi dari produsen ke konsumen. Hal ini dilakukan dengan meningkatkan peran BUMN lain dan BUMD serta sektor swasta dalam pendistribusian gula.

Pemangkasan juga dilakukan dalam alur impor gula. Jika dulunya harus melalui penugasan dari pemerintah ke BUMN, kini Kemendag mengizinkan beberapa pabrik untuk mengimpor langsung gula mentah untuk diolah menjadi GKP atau gula konsumsi.

Menurut Colosewoko, hal ini perlu diapresiasi. Ia meyakini kebijakan Kemendag memangkas rantai perdagangan dalam jalur importasi raw sugar, bisa menekan besaran biaya produksi.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : News Editor
Sumber : Antara

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper