Bisnis.com, JAKARTA - Indonesia bersungguh-sungguh dalam upaya mengatasi berbagai jenis kejahatan yang terjadi di seluruh wilayah perairan nasional.
Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti menegaskan, pemerintah Republik Indonesia sangat serius dalam menangani berbagai kejahatan yang terjadi di lautan, tidak hanya mengenai kasus pencurian ikan.
"Indonesia sangat serius dalam mengatasi dan memberantas semua kejahatan yang terjadi di lautan," kata Menteri Susi dalam acara peluncuran Laporan Mengenai Perdagangan Orang, Pekerja Paksa dan Kejahatan Perikanan dalam Industri Perikanan Indonesia di Kantor KKP, Jakarta, Selasa (24/1/2017).
Susi Pudjiastuti menegaskan, di Indonesia telah dilakukan penegakan hukum atas temuan dan investigasi terkait kejadian pelanggaran HAM di bisnis perikanan, seperti kasus di Benjina (Maluku) pada tahun 2015.
KKP, ujar dia, mempunyai misi mengamankan laut sebagai masa depan bangsa sehingga pihaknya juga mulai menginventarisir serta menganalisa dan mengevaluasi kapal-kapal eks-asing, yang menghasilkan kebijakan moratorium serta larangan transshipment (alih muatan di tengah laut).
Menurut Susi, pihaknya juga terus mencari sekitar 250.000 ABK Indonesia. Ada laporan bahwa mereka juga diperlakukan secara tidak manusiawi, seperti tidak diperbolehkan keluar dari kapal saat melabuh, jatah makanan dan minuman yang dibatasi, serta jam kerja yang berlebihan serta upah yang minim.
"Apa yang terjadi di Benjina membuka mata kita. Kami berharap yang terjadi di Benjina dapat dilakukan di kasus lainnya.. Kami masih mencari 250.000 ABK Indonesia yang bekerja di kapal-kapal asing," katanya.
Pemerintah melalui KKP juga telah menerbitkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No 2/2017 yang menyasar pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di industri perikanan.
Pembicara lainnya, Deputi Duta Besar Australia untuk RI, Justin Lee mengatakan, kompleksnya permasalahan perdagangan manusia dan kerja paksa menunjukkan persoalan ini adalah lintas negara sehingga kerja sama berbagai instansi dan pihak dalam kerangka internasional seperti yang ditunjukkan dalam kasus Benjina perlu untuk diteruskan ke depannya.
Sementara itu, Kepala Misi Organisasi Internasional Migrasi (IOM) Indonesia Mark Getchell mengatakan, pihaknya mengapresiasi pemerintah atas berbagai upaya yang telah dilakukan untuk mengatasi berbagai masalah perdagangan orang dan eksploitasi tenaga kerja.
Mark Getchell menyarankan lebih bekerja sama dengan pemimpin industri sebagai cara yang paling tepat guna memastikan terpenuhinya hak-hak pekerja, serta memastikan RI dapat mengambil manfaat ekonomi sumber daya maritim secara berkelanjutan.
Laporan penelitian yang diluncurkan pada hari ini disusun berdasarkan pengalaman langsung dari para saksi mata yang menjadi korban perdagangan orang di kapal, dan merupakan hasil kerja sama IOM Indonesia dan Satgas 115-KKP, serta bantuan UI dan Coventry University.
Penelitian IOM itu meliputi penipuan yang sistematis dan terstruktur dalam praktik rekrutmen dan eksploitasi ABK dari berbagai negara di kawasan Asia Tenggara, termasuk berbagai pernyataan saksi mata mengenai kekerasan dan pembunuhan di laut, serta membuang jasad secara ilegal.
Kemudian, kasus eksploitasi tenaga kerja seperti memaksa ABK bekerja lebih dari 20 jam per hari, berbagai tindakan melawan hukum antara lain mematikan transmitter kapal, menggunakan peralatan yang dilarang dan membahayakan, transshipment ilegal, pemalsuan dokumen dan logbook.
Terakhir adalah tumpang tindih regulasi yang mengakibatkan ketidakjelasan tanggung jawab institusi pemerintah terkait dengan pengawasan rekrutmen tenaga kerja, kondisi kerja, perusahaan perikanan, agensi perekrutan, dan kapal.
Sebelumnya, melalui kerja sama dengan pemerintah RI, IOM pada Maret 2015 telah mengidentifikasi dan memberikan bantuan kepada ribuan ABK asing korban perdagangan orang.
Ribuan ABK asing tersebut dibebaskan dari kondisi perbudakan di kapal yang sedang berlabuh di pelabuhan Indonesia Timur setelah ditetapkannya moratorium untuk memperpanjang izin operasi.
Penelitian terhadap hasil wawancara dengan lebih dari 1.100 korban perdagangan orang yang menunjukkan pelanggaran HAM yang sistematis dan masif serta adanya tindak kriminalitas mulai dari pemalsuan dokumen hingga pembunuhan, yang terbantu tumpang tindihnya peraturan yang dinilai turut melanggengkan praktik tersebut.