Bisnis.com, JAKARTA – Pelaku usaha khawatir kurangnya fasilitas penguji produk makanan dan minuman di Indonesia bakal berpengaruh terhadap jalannya pasar bebas Asean.
Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Air Minum Dalam Kemasan Indonesia (Aspadin) Rachmat Hidayat mengatakan kurangnya laboratorium uji tersebut bisa berdampak memperlambat jalannya pasar bebas Asean (MEA).
“Produk impor kan tentu punya lab uji juga, mereka tentu berani ekspor ke Indonesia. Kalau infrastruktur [laboratorium] di Indonesia belum memadai, maka yang repot industri dalam negeri,” katanya kepada Bisnis.com, Kamis (15/12/2016).
Dia menjelaskan untuk proses sertifikasi SNI bagi produk air minum kemasan membutuhkan paling tidak dua bulan. Adapun biayanya berbeda setiap produk, tetapi justru biaya audit ke tempat fasilitas produksi produk lebih mahal ketimbang biaya sertifikasi.
Di kesempatan yang berbeda, Kepala Bidang Pertanian, Pangan, dan Kesehatan Badan Standardisasi Naisonal (BSN) Wahyu Purbowasito mengatakan per tahun ini ada sekitar 9.050 standar nasional Indonesia (SNI) yang aktif. Namun, hanya ada sekitar 238 lembaga sertifikasi dan 1.380 laboratorium dan lembaga inspeksi.
“Jumlah tersebut masih kurang karena variasi produk [makanan] banyak. Jelas untuk Indonesia Timur kita masih kurang. Kami akan memetakan persyaratan terutama untuk SNI yang diwajibkan,” ujarnya seusai Forum Food Safety Guna Mendukung Industri Pangan dan Minuman Nasional di Era Pasar Bebas.
Idealnya, lanjutnya, satu lembaga sertifikasi produk memiliki beberapa fasilitas laboratorium sehingga setiap lembaga sertifikasi bisa memilih performa laboratorium yang paling bagus. Namun, kenyataannya jumlah lembaga sertifikasi lebih banyak ketimbang laboratorium.
“Karena pendirian lembaga sertifikasi lebih mudah persyaratannya dan investasinya tidak sebesar pendirian laboratorium. Kalau laboratoium kecil selain investasi peralatan dan bangunan, sumber daya manusianya harus dididik terus menerus,” terangnya.