Bisnis.com, JAKARTA-- Realisasi pembangunan infrastruktur dengan skema Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU) masih berjalan lambat, mengingat baru sembilan proyek yang berhasil mendapatkan kepastian kontrak sejak skema KPBU pertama kali dicanangkan pemerintah pada satu dekade lalu
Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan, pemerintah mulai merintis terbentuknya skema pendanaan KPBU pada 10 tahun lalu, ketika dirinya masih menjabat sebagai Menteri Keuangan di masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Selama masa tersebut, lahir beberapa inovasi pembiayaan dalam proyek KPBU, seperti persiapan proyek atau Project Development Facilities (PDF), dukungan kelayakan atau Viability Gap Fund (VGF), penjaminan infrastruktur, dan pembayaran ketersediaan layanan (Availability Payment).
“Hanya sembilan proyek dalam 10 tahun terlalu sedikit. Walaupun, saya akui ketika bekerja di Bank Dunia, saya tahu untuk bisa menciptakan dan mengakselerasi PPP [Public Private Partnership], butuh waktu yang lama,” ujarnya ketika memberikan sambutan dalam Indonesia PPP Day, Kamis (24/11).
Adapun sembilan proyek KPBU yang dimaksud terdiri dari proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Batang 2x1.000 Megawatt (Mw), proyek Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) Umbulan di Jawa Timur, proyek Palapa Ring Barat, Palapa Ring Tengah, Palapa Ring Timur, jalan Tol Manado-Bitung, Tol Balikpapan-Samarinda, Tol Batang-Semarang, dan Tol Pandaan-Malang.
Dari sembilan proyek, baru proyek PLTU Batang, Palapa Ring Barat, Palapa Ring Tengah yang telah financial close, dua proyek lainnya yaitu Palapa Ring Timur dan SPAM Umbulan masih proses memenuhi kebutuhan pendanaan. Meskipun belum mencapai financial close, proyek jalan tol telah memasuki masa konstruksi dengan memanfaatkan dana kontraktor pelaksana.
Menkeu menyebut beberapa proyek seperti SPAM Umbulan dan PLTU Batang telah dirintis puluhan tahun lalu, namun baru mencapai kesepakatan pada tahun ini. Menurutnya, semakin banyak pihak yang terlibat dalam satu proyek KPBU, semakin kompleks pula perencanannya.
Salah satu faktor yang menyebabkan lambatnya persiapan proyek infrastruktur KPBU antara lain tidak adanya alokasi biaya persiapan proyek. Padahal, tidak semua kementerian/lembaga yang menjadi Penanggung Jawab Proyek Kerja sama (PJPK) memiliki kompetensi dan pengalaman yang memadai untuk menyelenggarakan pelelangan investasi proyek KPBU.
Karena itu, ujarnya, Kemenkeu membentuk BUMN seperti PT Sarana Multi Infarstruktur (SMI) untuk terlibat dalam persiapan dana pembiayaan proyek, serta PT Penjaminan Infrastruktur (PII) untuk memberikan garansi pemerintah atas proyek KPBU. Kehadiran perusahaan plat merah tersebut pun menjadi katalis dalam mendorong terlaksananya proyek.
Selanjutnya, Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu mendorong penerapan skema KPBU pada proyek infrastruktur sosial seperti air minum dan sanitasi, atau infrastruktur pendidikan dan kesehatan. Dengan prinsip transparansi dan akuntabilitas yang baik, dia meyakini proyek yang dibangun dapat memberikan manfaat untuk masyarakat, dan semua pihak yang terlibat.
“Kalau mau melayani masyarakat, tidak harus swasta rugi atau pemerintah yang rugi. Aspek kedua ini tidak harus saling bertentangan. Saya tidak percaya itu. Bisa kok bikin PPP yang menguntungkan kedua belah pihak,” ujarnya.
Menteri Telekomunikasi dan Informatika menjelaskan, proyek Palapa Ring membutuhkan waktu satu tahun untuk proses lelang hingga financial close. Sementara persiapan proyeknya cukup menelan waktu lantaran menunggu regulasi mengenai skema Availability Payment.
“Kita tender lima bulan, financial closing 5 bulan, groundbreaking sebulan setelahnya.” ujarnya.
Menurutnya, Kominfo tertarik menjalankan skema KPBU bukan karena kekurangan pendanaan, melainkan lebih kepada peningkatan kapasitas kementerian dalam membangun proyek infrastruktur dengan melibatkan swasta. Dengan dibangunnya serat optik Palapa Ring, dia menargetkan seluruh kabupaten/kota di Indonesia dapat menikmati akses internet cepat pada 2019.
Sementara itu, Kepala Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT) Herry Trisaputra Zuna menyatakan, pihaknya tak perlu menunggu proses financial close untuk memulai konstruksi. Pasalnya, pemerintah mendorong kontraktor pelaksana untuk menerapkan skema Contractor Pre Financing di mana kontraktor menalangi terlebih dahulu biaya konstruksi.
“Idenya ini dia membangun dulu dengan dana dari sisi kontraktor, setelah itu baru kredit investasi. Signing financial close itu tidak terlalu mendesak selama pekerjaan di lapangannya dilakukan,” ujarnya.
Dia menjelaskan, lazimnya pemberian pinjaman perbankan bersifat ketat dengan sejumlah persyaratan, seperti ketersediaan tanah minimal satu seksi atau 75% seluruh seksi supaya dapat dicairkan, Sementara pengadaan lahan yang dilakukan pemerintah saat ini bersifat simultan dan posisinya tersebar bergantung proses di lapangan.