Bisnis.com, JAKARTA—Pemerintah diminta lebih tegas dalam menjalankan pencampuran unsur nabati ethanol ke dalam bahan bakar minyak (BBM) guna mencapai target bauran energi baru terbarukan sebesar 11% pada 2017 sesuai dengan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN).
Anggota Harian Dewan Energi Nasional (DEN) Abadi Poernomo mengatakan, implementasi mandatori bioethanol merupakan salah satu upaya guna mencapai target bauran energi baru terbarukan sebesar 11% pada 2017.
Jika melihat perkembangan saat ini, di mana implementasi mandatori bioethanol tidak dilakukan dengan baik kemungkinan besar capaian bauran energi baru terbarukan pada tahun depan hanya 7%.
“Kami sampaikan kepada Menteri ESDM [Energi dan Sumber Daya Mineral] kan ada Permen yang atur mandatory bioethanol. Kalau sudah mandatory kenapa tidak dilaksanakan,” kata Abadi di Jakarta, Kamis (17/11/2016).
Adapun peraturan menteri ESDM yang mengatur penyediaan dan pemanfaatan tata niaga pencampuran bahan bakar nabati bernomor 12 Tahun 2015.
Abadi menjelaskan mandeknya implementasi pencampuran ethanol pada BBM ini disebabkan kurangnya dana pendukung untuk menutupi selisih harga yang timbul akibat pencampuran. Hal serupa juga terjadi pada kebijakan pencampuran fatty acid methyl esther (FAME) ke dalam minyak Solar, di mana nonpublic service obligation (non-PSO) tidak mendapat subsidi sehingga enggan melakukan pencampuran.
Dia mengusulkan agar pemerintah memberlakukan aturan yang sama kepada seluruh badan usaha penyedia BBM. Sehingga, badan usaha yang melaksanakan kewajiban ini tidak merugi karena menjual BBM dengan harga lebih mahal. Hal ini guna menjadikan kebijakan mandatori BBN lebih konsisten.
Selain Kementerian ESDM, pihaknya juga meminta koordinasi dengan Kementerian Perhubungan agar melakukan komunikasi dengan industri transportasi untuk melakukan kewajiban ini. Hal ini menurut Abadi juga berlaku untuk mandatori biodiesel. Di mana pemerintah harus mempersiapkan lahan secara bertahap seluas 4 juta hektar untuk memenuhi kebutuhan bahan bakar nabati guna menghasilkan 15,6 juta KL biodiesel.
Berdasarkan data DEN, target bauran EBT sebesar 11% pada 2017 atau 25,5 juta setara ton minyak (Million Tonnes of Oil Equivalent/MTOE), di mana sebesar 14,6 MTOE atau setara 10.600 megawatt (MW) berasal dari bauran energi pada pembangkit listrik.
Sementara sisanya 10,9 MTOE dari nonlistrik, yakni biodiesel sebesar 5 juta kiloliter (KL), biomassa 5,9 juta ton, biogas 49,6 juta meter kubik dan coalbed methane (CBM) sebesar 0,5 juta standar kaki kubik per hari (million standard cubic feet per day/MMscfd).
Pemerintah menargetkan tahun depan serapan biodiesel mencapai 5,5 juta KL di mana yang dicampur BBM bersubsidi 3 juta KL dan nonsubsidi 2,5 juta KL. Hitungan ini dengan asumsi porsi biodiesel yang dicampur tetap 20% atau B20.
Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Rida Mulyana menjelaskan kebutuhan subsidi untuk biodiesel selama setahun ke depan mencapai Rp17 triliun.
Pihaknya menginginkan, jika memungkinan, pasokan biodiesel 5,5 juta KL itu seluruhnya disubsidi. Sehingga, implementasi serapan untuk bahan bakar non PSO bisa lebih baik. Adapun untuk biodiesel dana subsidi didukung dari badan pengumpul dana sawit (BPDP).
Di sisi lain, untuk kebijakan mandatori bioethanol, dukungan dana masih mengandalkan anggaran pemerintah, yang mana untuk 2017 pada awalnya dianggarkan Rp225 miliar untuk mandatori bioethanol kadar 2% dengan volume 500.000 KL. Namun, usulan subsidi energi baru terbarukan keseluruhannya ditolak oleh Badan Anggaran DPR.