Bisnis.com, JAKARTA - Importir mendesak Kementerian Perhubungan turun tangan untuk mengevaluasi formulasi, komponen dan tarif layanan kargo impor berstatus LCL di Pelabuhan Tanjung Priok Jakarta
Hal itu didesak supaya tercapai kesepakatan tarif baru antar penyedia dan pengguna jasa guna menghilangkan praktik kutipan liar di pelabuhan tersibuk di Indonesia itu.
Sekjen Badan Pengurus Pusat Gabungan Importir Nasional Seluruh Indonesia (BPP GINSI) Achmad Ridwan Tento mengatakan sepanjang tidak ada evaluasi dan dibuat kesepakatan baru tarif layanan kargo impor bersatatus less than container load (LCL) tersebut.
Menurutnya, instansi terkait sulit mengawai praktik yang masuk kategori pungutan liar (pungli) dalam layanan impor tersebut.
“Bagaimana mau diawasi, kalau tidak ada acuan tarifnya. Sebab, kesepakatan tarif penyedia dan pengguna jasa soal layanan imor LCL itu sudah kedaluarsa sejak 2010. Akibatnya tarif-tarif liar pada layanan kargo impor tersebut masih saja berlangsung sampai sekarang,” ujarnya kepada Bisnis, Selasa (17/10/2016).
Ridwan mengemukakan yang paling dirugikan atas kondisi seperti ini adalah perusahaan importir yang melakukan pemasukan barang melalui pelabuhan Priok dengan status importasi LCL. “Ginsi sudah sering mengeluh soal liarnya tarif layanan importasi LCL di Priok itu,” tuturnya.
Dia mengatakan tidak mau mempersoalkan dengan ada atau tidaknya fasilitas terpadu yang akan disiapkan Pelindo II untuk menangani kargo impor LCL di Pelabuhan Tanjung Priok. Namun, yang terpenting tarifnya single billing dan sudah ada kesepakatan penyedia dan pengguna jasa di pelabuhan.
“Seharusnya yang melakukan pengawasan tarif tersebut Otoritas Pelabuhan. Tetapi sekarang bagaimana mau ngawasin kalau kesepakatan tarif nya sudah tidak berlaku,” tuturnya.
Ridwan mengatakan, penyederhanaan sistem tarif atau melalui single billing layanan kargo impor LCL di Priok bisa diterapkan dengan mekanisme operator gudang langsung menagihkan kepada pemilik barang.
“Selama ini sistem penagihan layanan LCL impor yakni operator gudang yang nagih ke perusahaan forwarder, kemudian forwarder menagih ke pengguna jasa,” paparnya.
Sesuai dengan kesepakatan asosiasi penyedia dan pengguna jasa pelabuhan Priok 2010, komponen biaya LCL cargo impor yang sudah disepakati untuk forwarder charges a.l CFS charges, DO charges, agency charges, dan administrasi.
Adapun biaya local charges untuk layanan LCL kargo impor hanya diberlakukan komponen tarif a.l delivery, mekanis, cargo shifting, surveyor, penumpukan, administrasi, behandle dan surcharges.
Namun, di luar komponen tersebut masih ada pemilik barang impor yang dikutip komponen biaya tambahan seperti devaning atau pecah pos yang mencapai Rp2,13 juta/cbm, biaya lain-lain Rp2,8 juta/dokumen, serta administrasi delivery order (DO) Rp1,45 juta.
Kian liarnya kutipan biaya penanganan kargo impor berstatus LCL di Pelabuhan Tanjung Priok saat ini, diduga lemahnya pengawasan operator dan instansi terkait akibat tidak adanya fasilitas terpadu dalam penanganan layanan jenis kargo impor tersebut.
Dikonfirmasi Bisnis per telepon (17/10), Direktur Operasi dan Sistem Informasi PT Pelabuhan Indonesia II Prasetiadi mengatakan BUMN tersebut masih terus melakukan kordinasi dengan instansi dalam penyiapan fasilitas logistik terpadu di pelabuhan Priok.
“Rencananya fasilitas itu berada di area pergudangan Pos Sembilan Pelabuhan Priok,” ujarnya.