Bisnis.com, JAKARTA— Pemerintah akan meningkatkan anggaran subsidi perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah atau MBR sebesar 25% untuk tahun depan, atau meningkat Rp3,1 triliun.
Direktur Jenderal Pembiayaan Perumahan, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Maurin Sitorus mengatakan, alokasi anggaran subsidi perumahan akan meningkat dari Rp12,5 triliun tahun ini menjadi Rp15,6 triliun tahun depan.
Fasilitas subsidi tersebut terdiri atas tiga jenis bantuan, yakni Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP), Subsidi Selisih Bunga (SSB), dan Bantuan Uang Muka (BUM).
Peningkatan anggaran subsidi tersebut masing-masing yakni, FLPP meningkat dari Rp9,2 triliun tahun ini menjadi Rp9,7 triliun tahun depan, SSB meningkat dari Rp2,1 triliun menjadi Rp3,7 triliun, dan BUM meningkat dari Rp1,2 triliun menjadi Rp2,2 triliun.
Meskipun sudah lebih tinggi dari tahun lalu, tetapi anggaran tersebut sejatinya jauh dari alokasi anggaran yang ditetapkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019.
Dalam RPJMN, subsidi tahun ini diprogramkan sebesar Rp40,7 triliun. Nilai tersebut adalah estimasi kebutuhan anggaran untuk merealisasikan sasaran pemerintah menekan angka kesenjangan antara kebutuhan dan ketesediaan atau backlog hunian.
Adapun, dana Rp40,7 triliun tersebut diproyeksikan cukup untuk 375.000 unit KPR FLPP, 225.000 unit SSB dan 550.000 unit BUM.
"RPJMN itu kan selalu dilaksanakan dengan APBN. Sekarang, APBN 2017 itu angkanya total Rp15,6 triliun. Itu masih angka indikatif, masih akan dibahas lebih lanjut lagi,” katanya, Senin (3/10/2016).
RPJMN 2015-2019 menargetkan backlog berdasarkan konsep kepemilikan berkurang dari 13,5 juta unit menjadi 6,8 juta unit, backlog berdasarkan konsep kepenghunian berkurang dari 7,6 juta unit menjadi 5 juta unit, dan rumah tidak layak huni berkurang dari 3,4 juta unit menjadi 1,9 juta unit.
Maurin mengatakan, salah satu tantangan utama masalah perumahan nasional saat ini adalah keterbatasan dana pembiyaan perumahan. Dibandingkan negara lain, Indonesia kini masih tergolong sangat minim dari segi pengalokasian dana belanja negara dan swasta untuk bidang perumahan.
Dari total produk domestik bruto (PDB) negara yang mencapai sekitar Rp10.000 triliun setahun, alokasi untuk subsidi pembiayaan dan anggaran penyediaan perumahan pemerintah hanya sekitar Rp20 triliun, atau hanya 0,2% dari PDB.
Sektor swasta hanya sekitar 3% dari PDB, atau sekitar Rp300 triliun. Alhasil, ketersediaan dana tahunan hanya sekitar Rp320 triliun. Di sisi lain, kebutuhan ideal atau permintaan mencapai Rp1.000 triliun, atau 10% dari PDB.Jadi, ada gap Rp680 triliun tiap tahun.
Padahal, negara lain mengalokasikan dana sangat tinggi untuk perumahan rakyat. Singapura mengalokasikan 53,7% dari PDB, Malaysia 33%, Thailand 19%, China 14%, dan India 9%.
Maurin mengatakan, hal ini menjadi tantangan yang tidak mudah untuk segera diatasi. Untuk itu, dirinya berharap agar semua pihak dapat mendukung program tabungan perumahan rakyat atau tapera yang telah disahkan melalui UU 4/2016 tentang Tapera pada 24 Maret 2016 lalu.
Menurutnya, tapera akan menyelesaikan masalah pendanaan ini secara jangka panjang. Dalam lima tahun beroperasi, Tapera diperkirakan sudah akan mampu menghimpun dana Rp50 triliun.
Hingga kini, sejumlah kalangan, terutama kalangan asosiasi pengusaha masih berkeberatan dengan sisten tapera. Pasalnya, tapera akan membebankan iuran pada pekerja dan pengusaha pemberi kerja. Adanya tambahan beban ini dikuatirkan akan menggerus daya saing industri dalam negeri terhadap pasar global.