Bisnis.com, JAKARTA—Upaya penguatan arus investasi asing ke sektor properti melalui kepemilikan unit secara langsung oleh orang asing di Indonesia perlu diperkuat dengan instrumen perlindungan konsumen yang tegas serta sistem birokrasi dan bisnis yang transparan.
General Manager of Strategic & Corporate Communications Crown Group Bagus Sukmana mengatakan, iklim investasi properti di Australia khususnya Kota Sydney sangat kondusif bagi investasi internasional sebab ditopang oleh kedua hal tersebut. Hal ini patut dicontoh Indonesia.
Saat ini, pemerintah Indonesia tengah menunjukkan keseriusan untuk membuka kesempatan lebih baik bagi warga negara asing (WNA) untuk memiliki properti di Indonesia. Namun, regulasi yang telah dirilis pemerintah sejauh ini kerap dinilai masih belum cukup atraktif bagi pasar internasional.
Akhir tahun lalu, pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah 103/2015 tentang Pemilikan Hunian oleh Orang Asing yang Berkedudukan di Indonesia. PP ini kemudian ditindaklanjuti melalui penerbitan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang 13/2016 yang mengatur tentang tata cara pemberian, pelepasan atau pengalihan hak atas hunian tersebut.
Akan tetapi, regulasi tersebut masih menyisakan banyak persoalan, terutama terkait dengan status kepemilikan unit hunian oleh WNA yang dibedakan dari warga lokal, yakni hanya bisa atas dasar hak pakai. Kendala ini berkembang hingga ke sulitnya menjaminkan properti tersebut ke perbankan untuk memperoleh kredit.
Alhasil, sejumlah kalangan menyambut dingin terbitnya regulasi ini. Regulasi ini pun tidak cukup kuat membangkitkan antusiasme pengembang untuk menyiapkan proyek yang menyasar pasar asing sebab berisiko tinggi. Pasar lokal dikuatirkan akan enggan ikut membeli bila pengembang membangun hunian dengan status hak pakai.
Bagus mengatakan, upaya pemerintah saat ini tentu patut diapresiasi sebagai langkah awal untuk membenahi iklim investasi properti Indonesia di mata pasar internasional. Akan tetapi, hal tersebut masih harus diikuti oleh sejumlah langkah berikutnya.
Crown Group sebagai pengembang asal Indonesia yang berbasis di Australia melihat ada sejumlah langkah unik pemerintah Australia yang belum diterapkan Indonesia. Australia memberi jaminan lebih tinggi terhadap keamanan investasi konsumen sebab pasar asing sangat sensitif terhadap keamanan investasi di negara lain.
Bagus mengatakan, di Australia konsumen hanya membayar uang muka properti inden sebesar 10% dari nilainya dan sisanya dibayar setelah proyeknya rampung. Pengembang tidak mengandalkan dana konsumen untuk menyelesaikan proyeknya.
Pemerintah pun akan memberi sanksi serius bilamana pengembang tidak menyelesaikan proyek sebagaimana gambar atau spesifikasi yang semula dijanjikan. Seluruh sistem pembayaran, pencatatan hak, perkembangan proyek, dan lainnya berlangsung dengan transparan.
Selain itu, sinergi antara perencanaan pengembang dan pemerintah pun cukup kuat. Pemerintah tidak akan mengizinkan pengembang mulai membangun proyeknya sebelum pemerintah menyelesaikan infrastruktur pendukungnya lebih dahulu.
“Di Indonesia sering terjadi kita dikasih gambarnya ini, tetapi yang dibangun hasilnya lain. Lalu jalannya di sini, rumahnya malah di sana. Ada rumah yang harganya terjangkau, tetapi ternyata aksesnya susah. Ini tidak terjadi di Australia,” katanya pada Bisnis, dikutip Senin (26/9/2016).
Masalah kemacetan yang parah juga sangat besar pengaruhnya terhadap penurunan daya tawar properti Indonesia. Bila sistem transportasi tidak dibenahi, kecil peluang bagi kota-kota Indonesia untuk bersaing di pasar properti residensial global.