Bisnis.com, JAKARTA -- Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mendorong penyebaran teknologi bioflok untuk budidaya lele karena teknologi itu terbukti meningkatkan produksi.
Dirjen Perikanan Budidaya KKP Slamet Soebjakto mengatakan sistem bioflok efektif memaksimalkan produktivitas di lahan yang terbatas. Sebagai gambaran, satu lubang atau satu kolam bioflok dengan kapasitas air 10 m3, dengan modal sekitar Rp5 juta, mampu menghasilkan lele sekitar 1 ton selama 2,5 bulan.
“Di samping itu, budidaya lele menjadi lebih ramah lingkungan, hemat dalam penggunaan air dan pakan serta dapat dilakukan di lahan yang terbatas," kata Slamet dalam siaran pers, Senin (29/8/2016).
Biaya produksinya pun dapat ditekan dan waktu budidaya lebih singkat dibandingkan dengan budidaya lele konvensional. Dengan asumsi harga lele Rp15.000 per kg, maka pembudidaya dapat mengantongi Rp15 juta alias menikmati keuntungan Rp10 juta dalam 2,5 bulan.
Produksi lele secara nasional selama lima tahun terakhir (2011–2015) meningkat 21,3% per tahun. Volume produksi yang pada 2011 masih 337.577 ton kemudian naik menjadi 722.623 ton pada 2015.
"Ini merupakan kenaikan terbesar dibandingkan dengan komoditas air tawar lainnya, seperti nila, mas, patin, dan gurame. Ini juga menjadi bukti pemanfaatan teknologi yang ramah lingkungan serta efisien mampu meningkatkan produksi ikan”, ungkap Slamet.
KKP telah melakukan percontohan budidaya lele sistem bioflok, a.l. di Kelompok Pembudidaya Ikan (POKDAKAN) Karya Mina Sejahtera Bersama Di Desa Duren, Kecamatan Bandungan, Kabupaten Semarang.
Teknologi bioflok juga meningkatkan kualitas lele karena di samping makan pellet, lele juga makan flock atau gumpalan yang terdiri atas organisme hidup (alga, bakteri). Di samping itu, air hasil budidaya lele sistem bioflok tidak berbau dan sangat baik untuk pupuk tanaman hortikultura dan buah-buahan.