Bisnis.com, JAKARTA—Rancangan Undang-Undang Paten Nomor 14 Tahun 2001 akhirnya disahkan menjadi Undang-Undang Paten pada rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat hari ini, Kamis (28/7). Terbentuknya undang-undang yang baru ini telah melewati proses pembahasan di Komisi III DPR RI selama enam bulan.
Pengesahan tersebut digelar setelah panitia khusus atau pansus menyetujui RUU Paten hasil pembahasan panitia kerja untuk disahkan menjadi undang-undang.
Direktur Jenderal Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan HAM Ahmad M. Ramli mengatakan RUU Paten adalah satu-satunya agenda yang disahkan oleh DPR pada hari ini. Pengesahan Paten juga dinilai sangat kilat mengingat waktu yang dibutuhkan hanya enam kali masa sidang, atau sekitar enam bulan sejak pembahasan pertama pada Januari 2016.
“Setelah disahkan pada hari ini, UU Paten yang baru dibawa ke Presiden untuk ditanda tangani. Setelahnya, kita hanya menunggu satu bulan hingga terbitnya satu undang-undang baru,” katanya saat ditemui usai menghadiri Halal Bihalal Asosiasi Konsultan Hak Kekayaan Intelektual Indonesia, Kamis (28/7/2016).
Ramli menambahkan ada beberapa poin menarik pada undang-undang paten yang baru kali ini.
Pertama, UU Paten mengakomodasi hal-hal yang sebelumnya tidak tercantum pada UU yang lama.
Salah satunya adalah pemeriksa paten boleh direkrut dari luar Direktorat Jenderal KI, misalnya perguruan tinggi maupun lembaga penelitian yang memahami dasar alih teknologi dengan baik. Hal itu tentunya akan mempercepat proses pendaftaran paten oleh para penemu atau inventor tanpa harus mengantri lama untuk diperiksa produk patennya.
Kedua, UU Paten yang baru benar-benar akan melindungi inventor di kalangan mahasiswa dan usaha kecil menengah (UKM).
Mereka langsung bisa disebut sebagai pemegang paten pada setiap produk paten yang dihasilkan, bukan hanya inventor atau penemu. Adapun pemegang paten akan mendapatkan imbalan atau royalti apabila produk paten mereka digunakan oleh pemerintah atau masyarakat luas. “Tak tanggung-tanggung, royalti yang bisa didapatkan oleh pemegang paten bisa mencapai 40% dari nilai kapitalisasi,” ujarnya.
Hal itu tentunya akan menstimulasi inventor-inventor lokal untuk segera mematennya produknya di Ditjen Kekayaan Intelektual. Selain masuk dalam pendapatan negara bukan pajak (PNBP), royalti juga dapat dinikmati oleh si peneliti produk yang dipatenkan.
Dalam skala perguruan tinggi, hak paten yang diciptakan oleh mahasiswanya dapat menguntungkan tempat dia belajar untuk menuju universitas kelas dunia (world class university). Pasalnya, syarat untuk menuju tahap tersebut yaitu harus ada penemuan yang dipatenkan.
Ketiga, yang tertuang dalam UU Paten yang baru, lanjut Ramli, akan lebih berpihak pada kepentingan nasional. Hak paten akan didorong pada sumber daya genetik seperti mikroorganisme dan pengetahuan tradisional, semisal jamu, herbal dan kuliner.
Apabila ada kerja sama dengan asing dalam dua hal tersebut, maka mereka harus turut mencantumkan sumber daya alam dari Indonesia. Dengan begitu, akan ada pembagian hasil antara ahli olah teknologi dari asing dengan petani Indonesia. “Ini benar-benar perubahan dan menjadi benefit sharing. UU Paten tetap berpihak nasional tetapi tidak melanggar prinsip internasional,”
Keempat, dalam UU Paten yang baru juga menguatkan peran konsultasi KI di Indonesia. Nantinya paten dari luar negeri yang masuk ke Indonesia harus melewati tahap registrasi, konsultasi dan maintenance pada para konsultan KI.