Bisnis.com, JAKARTA - Asosiasi Industri Permebelan dan Kerajinan Indonesia (Asmindo) memprediksi pemberlakuan sistem verifikasi legalitas kayu atau SVLK dengan wajib tidak akan menggenjot kinerja ekspor secara signifikan karena masih ada faktor pertimbangan lain, seperti selera pasar.
Direktur Eksekutif Asosiasi Industri Permebelan dan Kerajinan Indonesia (Asmindo) Lisman Sumardjani mengatakan mandatori SVLK yang rencananya berlaku per Mei mendatang menjadi suntikan postitif bagi industri dalam negeri. Pasalnya, kedepannya konsumen cenderung memilih produk yang ramah lingkungan.
Dari total ekspor mebel industri, sebesar 30% diekspor ke Uni Eropa [UE]. Kalau ekspor kami nilainya US$2 miliar, maka nilai ekspor ke UE sekitar US$600 juta. Mungkin nanti bisa naik jadi US$620 juta-US$650 juta, itu besar juga. Masalahnya kondisi internal UE sendiri berat, katanya pada Bisnis.com, Minggu (24/4/2016).
Dia mengatakan saat ini Indonesia berada di urutan pertama untuk ratifikasi bersama UE terkait Voluntary Partnership Agreement on Forest Law Enforcement atau VPA-FLEGT, lalu diikuti Ghana dan 14 negara lainnya.
Kalau SVLK bisa segera diterapkan, lanjutnya, mungkin target ekspor senilai US$5 miliar bisa lebih mudah tercapai.
Namun, menurut Lisman mandatori SVLK tidak bisa serta merta meningkatkan kinerja ekpsor industri dalam negeri secara signifikan karena produk furnitur adalah produk artistik yang tiap konsumen memiliki selera yang berbeda.
Yang pertama kita punya kesempatan paling besar di antara negara lain karena kita di antrean pertama. Namun, permasalahan permintaan produk furnitur sangat spesifik. Furnitur bukan produk komoditas, ada selera. Apakah produk kita cocok dengan selera UE menyangkut masalah desain, ujarnya.
Di sisi lain, dia yakin produk dalam negeri tidak akan kalah dengan kayu-kayu negara skandinavia yang memang memiliki corak yang unik. Kayu di negara empat musim butuh waktu penanaman 20 tahun, sedangkan kayu Indonesia enam tahun. Mereka belum bisa bersaing.