Bisnis.com, JAKARTA—Asosiasi Perusahaan Industri Pengolahan dan Pemurnian Indonesia menggalang kekuatan dengan menggandeng Kadin guna menentang wacana relaksasi ekspor mineral mentah melalui revisi undang-undang mineral dan batu bara.
Jonathan Handojo, Wakil Ketua Asosiasi Perusahaan Industri Pengolahan dan Pemurnian Indonesia (AP3I), mengatakan pihaknya telah menjelaskan dampak negatif relaksasi ekspor mineral mentah terhadap program hilirisasi komoditas tambang kepada Kamar Dagang dan Industri Indonesia.
“Kadin memanggil kami, seluruhnya sudah kami jelaskan bahwa relaksasi ekspor mineral mentah tidak akan berpengaruh positif kepada program hilirisasi. Kami terus menggalang dukungan menentang relaksasi ekspor mineral mentah ini,” ujarnya kepada Bisnis, Rabu (30/3/2016).
Jalinan komunikasi dengan Kadin, lanjutnya, melengkapi upaya AP3I menentang relaksasi ekspor mineral mentah yang sebelumnya telah menemui Komite Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN) serta Dewan Pertimbangan Rakyat (DPR RI).
Adapun rekomendasi AP3I yang akan diajukan kepada Presiden RI terlebih dahulu dibahas kembali oleh internal KEIN. Secara garis besar, percepatan pembangunan smelter dapat terwujud melalui pemberian insentif bukan merelaksasi ekspor.
Menurutnya, lambatnya proyek pembangunan 70 smelter yang mendapatkan izin dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral merupakan cerminan ketidakseriusan investor melakukan hilirisasi mineral tambang.
Sebelumnya, Kementerian ESDM menyatakan pemerintah tengah mengkaji relaksasi ekspor mineral mentah untuk membantu finansial perusahaan smelter yang tengah melakukan pembangunan. Rencana ini diharapkan dapat mempercepat realisasi pembangunan smelter.
Saat ini, lanjut Jonathan, dari 24 perusahaan anggota AP3I dengan nilai total investasi mencapai US$12 miliar, 20 perusahaan telah berproduksi dan empat perusahaan lainnya akan menyelesaikan proyek pembangunan pada Agustus 2016.
“Dua pekan lalu anggota kami PT Fajar Bhakti Lintas Nusantara yang baru menyelesaikan pembangunan telah ekspor perdana nickel pig iron ke China. Ini bukti di tengah lesunya harga komoditas, keberadaan smelter meningkatkan nilai tambah,” tuturnya.
Selain itu, lanjutnya, sesuai keterangan dari Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), minat investasi di sektor smelter pada Januari lalu meningkat 12,7 kali lipat dari bulan yang sama tahun lalu, yakni dari Rp4,6 triliun menjadi Rp59,22 triliun.
Adapun sejumlah smelter penanaman modal asing (PMA) yang telah beroperasi seperti PT Sulawesi Mining Investment, lanjutnya, telah mengumumkan akan membangun pabrik stainless steel dengan kapasitas produksi 2 juta ton per tahun.
“Niat grup SMI [Sulawesi Mining Investment] memang memindahkan seluruh fasilitas produksi dari China ke Indonesia. Saat ini kami melihat animo investor membangun smelter di Indonesia sangat tinggi,” ujarnya.