Bisnis.com, JAKARTA - Bagai mengurai benang kusut, pemberian subsidi pupuk beserta penyalurannya memendam sejuta persoalan yang silang sengkarut. Banyak pihak condong menginginkan agar pemerintah mengubah strategi pemberian subsidi bagi petani dari input menjadi output.
Studi yang dilakukan oleh Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB) Hermanto Siregar, misalnya, menyebutkan sektor pertanian memiliki peran strategis seperti membentuk produk domestik bruto, penyerapan tenaga kerja, penyumbang devisa negara, penyediaan pangan serta penciptaan food security.
“Karena itu, peningkatan produktivitas pertanian mutlak diperlukan. Nah selama ini sejak 1971, pupuk menempati posisi penting dalam produksi dan produktivitas pertanian,” ujarnya, Senin (1/3/2016).
Dalam perjalanannya, subsidi pupuk mengalami beragam dinamika. Setidaknya, menurut Hermanto, ada empat dinamika yang terjadi. Pada 1971-1979, subsidi pupuk diberikan kepada para petani peserta bimbingan kemasyarakatan (bimas) dan peluang bisnis pupuk terbuka bagi semua badan usaha.
Pemerintah Orde Baru, lanjutnya, kemudian makin bernafsu untuk meningkatkan produksi padi dengan menyubsidi seluruh pupuk bagi pertanian. Penataniagaannya sejak 1979-1998 dilakukan oleh PT Pupuk Sriwijaya (Pusri).
Setelah 1998 hingga 2002, akibat dihempas krisis ekonomi yang luar biasa, pemerintah kemudian mencabut subsidi pupuk sehingga zat penambah unsur hara pada tanaman pertanian itu berubah menjadi barang bebas atau diserahkan kepada mekanisme pasar.
“Pada 2003 pemberian subsidi pupuk dilakukan tapi tidak semua disubsidi dan menggunakan mekanisme rayonisasi,” ungkapnya.
Dalam perjalanannya, sejak 2003 hingga saat ini, muncul gugatan terhadap pemberian dan penyaluran pupuk bersubsidi. Bagi pihak yang prosubsidi pupuk, secara makro pemberian subsidi pupuk bisa menjaga ketahanan pangan.
Sementara itu secara mikro, subsidi bisa menstimulasi produksi pertanian. Sementara itu, pihak yang kontra menganggap pemberian subsidi memberatkan secara fiskal, berdampak negatif terhadap lingkungan, serta memiliki motif pencarian dukungan secara politis.
Di balik berbagai pro dan kontra itu, ada fakta menarik yang perlu diperhatikan dari studi yang dilakukan oleh IPB selama 10 tahun, pada 2004-2014. Ternyata, besaran subsidi pupuk tidak berkorelasi dengan produktivitas padi.
Selama satu dasawarsa itu, peningkatan subsidi pupuk mencapai 1452%. Namun peningkatan subsidi yang luar biasa besarnya itu hanya mampu meningkatkan produksi sebesar 30,9% dan produktivitas sebesar 13,2%.
IPB menemukan setidaknya ada tiga poin teknis yang menjadi pokok persoalan subsidi pupuk selama ini yakni harga, distribusi dan produktivitas.
Dari sisi harga, disparitas antara harga nonsubsidi sebesar Rp4.500 berbanding harga subsidi Rp1.500 mendorong terjadinya moral hazard sehingga mendorong arus ilegal pupuk bersubsidi ke sumber-sumber lain.
Sementara itu dari sisi distribusi, IPB menemukan beberapa persoalan seperti lemahnya pengawasan di lapangan, di samping perhitungan jumlah subsidi pupuk tidak sesuai dengan pemakaian petani, waktu ketersediaan pupuk yang tidak tepat, sistem distribusi tertutup yang belum optimal serta besarnya biaya transportasi.
“Sementara dari sisi produktivitas, selain tidak ada korelasi antara subsidi dan produksi, ada juga penunggakan pembayaran oleh pemerintah kepada produsen,” ungkapnya.
Karena itu, IPB menyajikan pilihan bagi pemerintah untuk mengambil kebijakan pemberian subsidi di bidang pertanian yakni memperbaiki mekanisme pemberian subsidi pupuk dengan pola penyasluran seperti yang dilakukan selama ini.
Setidaknya ada dua keuntungan jika pemerintah ingin mengambil kebijakan ini yakni tidak menimbulkan political shock, di samping kelembagaan dan mekanismenya telah eksis serta adanya redistribusi pendapatan. Akan tetapi, di samping keuntungan, ada pula dampak negatif yang bakal dialami jika pola seperti ini tetap dipertahankan.
Adapun kelemahan pola ini seperti tidak mendorong penggunaaan teknologi untuk efisiensi, rawan penyelewengan, tidak tepat sasaran, biaya pengawasan besar serta tidak mendorong penggunaan pupuk yang optimal.
Cara lainnya yakni mengalihkan subsidi dari yang tadinya menyasar lini input menjadi output berupa dana penyangga harga beras. Dengan cara ini, menurutnya, bisa merangsang petani untuk berproduksi tinggi, sehingga menghemat devisa yang selama ini digunakan untuk impor beras serta mendorong adopsi teknologi untuk efisiensi pemupukan.
Jika pemerintah ingin mengambil jalan ini, menurutnya harus ada persiapan yang matang karena kebijakan pengalihan subsidi semacam ini rawan political shock. Di samping itu, kebutuhan untuk menyangga harga sebesar Rp 1.000/kg untuk produksi beras nasional 40 juta ton, membutuhkan biaya yang tidak sedikit yakni sebesar Rp40 triliun.
“Selain itu perlu persiapan yang matang dalam implementasinya bersama operator pelaksana dalam hal ini Badan Urusan Logistik [Bulog],” katanya.
Pengalihan subsidi semacam ini pun turut didengungkan oleh Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM). Deputi Produksi dan Pemasaran Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (UKM) I Wayan Dipta mengatakan kementerian tersebut menimbang bahwa subsidi pupuk tidak urgen untuk diterapkan.
Faktor yang lebih penting adalah petani mendapatkan kepastian harga jual hasil produksi yang pantas sehingga bisa mendapatkan keuntungan dari sektor pertanian sebagai salah satu penyangga perekonomian nasional. “Ini yang menjadi concern kami karena itu kami mengusulkan subsidi dilakukan dengan cara membeli hasil pertanian dengna harga yang pantas,” ujarnya.
Pengalaman di Jepang, menurutnya, patut ditiru oleh Indonesia. Di sana, katanya, para petani lebih senang menjual hasil pertaniannya ke koperasi karena mendapatkan harga yang lebih tinggi karena ada subsidi yang diberikan oleh pemerintah melalui koperasi.
Menurut I Wayan, ada beberapa hal yang menyebabkan para petani sekaligus anggota koperasi yang menaunginya tidak mendapatkan keuntungan dari pola distribusi pupuk bersubsidi selama ini. Salah satunya adalah sistem rayonisasi pengecer dan distributor.
“Banyak koperasi yang keanggotaannya sudah lintas kecamatan dan lintas desa. Akibatnya, petani yang domisili di luar area rayon tidak bisa mendapatkan pupuk bersubsidi yang diedarkan oleh koperasi tempat dia bernaung,” ungkapnya.
Hal lain yang ditemui di lapangan, para petani anggota koperasi terpaksa harus membeli pupuk bersubsidi dengan harga yang jauh di atas Harga Eceran Tertinggi (HET). Tidak hanya itu, marjin keuntungan penjualan pupuk pun terlampau rendah yakni antara Rp30-Rp40 perkilogram.
Karena itu, pihaknya telah berkoordinasi dengan Kementerian Perdagangan agar jumlah pengecer yang mencapai 44.000 dikurangi persentasenya sebesar 40% hingga 50%. Sejauh ini, dari jumlah pengecer, yang ada, hanya 4,5% pengecer yang berbentuk badan usaha koperasi.
Berdasarkan catatan Kementerian Koperasi dan UKM, ada 2.335 koperasi petani yang bertindak sebagai distributor pupuk bersubsidi dari total 7.600 koperasi yang mempunyai fasilitas pergudangan.
“Masih banyak masalah di apsek distribusi lainnya seperti dipasritas harga dan perembesan pupuk. Karena itulah pak menteri [Puspayoga] mengatakan kalau situasinya seperti ini ya lebih baik dicabut saja,” katanya.
Temuan BPK
Beberapa waktu lalu, Badan Pemeriksa Keuangan pun menilai penyaluran pupuk bersubsidi di Indonesia amburadul dan memiliki banyak kelemahan baik di aspek dasar hukum, perencanaan, peredaran maupun pengawasan.
Pada waktu itu, Ketua IV Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Rizal Djalil mengungkapkan pihaknya telah melakukan audit kinerja terhadap penyaluran pupuk bersubsidi.
Dari audit tersebut, BPK menilai sebagian dasar hukum penyaluran pupuk mulai dari peraturan menteri keuangan, perdagangan, pertanian maupun Undang-Undang (UU) No.16/2006 tentang Sistem Penyaluhan Pertanian dan Perikanan saling bertolak belakang dan harus disinkronkan.
"Salah satu contohnya defenisi petani. Ada regulasi yang mendefenisikan sebagai orang per orang yang menggantungkan kehidupan dari bertani tapi di perangkat hukum lainnya menyatakan perusahaan yang bergerak di sektor pertanian juga merupakan petani," ujarnya.
Ketidaksinkronan regulasi inilah, menurutnya, menjadi salah satu alasan penyaluran pupuk bersubsidi tidak tepat sasaran karena dinikmati pula oleh korporasi besar dan tidak bisa diproses secara hukum oleh aparat penegak hukum. Berdasarkan audit kinerja BPK, sekitar 30% pupuk bersubsidi jatuh ke tangan perusahaan besar.
Selain dasar hukum, BPK juga menilai kontrak produksi dan penyaluran pupuk bersubsidi antara pemerintah dan PT Pupuk Indonesia Holding Company pun tidak melalui mekanisme verifikasi dan belum ada data yang valid tentang kebutuhan dan jumlah petani penerima.
Tidak hanya itu, mekanisme penganggaran subsidi pupuk pun tidak pernah dibahas secara terbuka bersama Komisi IV DPR. Hal ini berbeda dibandingkan subsidi BBM yang harus melalui pembahasan bersama Komisi VII.
"Begitu pula dalam pengusulan dan penyaluran terjadi kerumitan. Ada daerah yang mengusulkan tapi tidak dapat, ada yang sebaliknya sehingga bisa disimpulkan pengawasannya belum berjalan dengan baik," tambahnya. ()