Bisnis.com, JAKARTA - Kasubdit Statistik Kerawanan Sosial BPS Ahmad Avenzora menyebutkan persentase konsumsi rokok terhadap total pengeluaran masyarakat meningkat terutama di kelompok masyarakat miskin dan hampir miskin. Rata-rata masyarakat miskin menghabiskan 11,15% pengeluaran untuk konsumsi rokok.
Menurutnya, pengeluaran untuk rokok bisa dialihkan pada komoditas pangan yang memiliki kalori seperti telur dan daging. Hal itu dapat meningkatkan jumlah kalori yang dikonsumsi per hari. Garis kemiskinan makanan memperhitungkan nilai rupiah yang harus dikeluarkan untuk memenuhi 2.100 kilo kalori per kapita per hari.
“Shifting ke produk yang berkalori, konsumsi seperti beras, telur, ayam ras, daging. itu akan meningkatkan asupan kalori mereka. Secara matematis akan menghitungkan angka kemiskinan. Sedangkan rokok tidak berkalori,” jelasnya, dalam Diskusi Kurang Gizi, Kemiskinan, dan Konsumsi Rokok, Selasa (23/2/2016).
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan rokok sebagai penyumbang angka kemiskinan dengan presentase 8,08% di perkotaan dan 7,68% di perdesaan per September 2015. Beras menjadi komoditas utama yang berpengaruh besar terhadap garis kemiskinan dengan capaian 22,10% di perkotaan dan 28,74% di perdesaan per September 2015.
Sophahan Ratanachena, Tobacco Tax Program Manager of the Southeast Asia Tobacco Control Alliance (SEATCA), menjelaskan rokok di Indonesia sangat murah dan terjangkau. Harga rokok termahal dijual dengan harga sekitar Rp1.115 per batang.
Harga itu jauh di bawah titik harga untuk mengurangi konsumsi rokok yaitu pada level Rp4.166 per batang atau sekitar Rp50.000 per kotak dengan isi 12 batang. Dia menyatakan 88% market share produk rokok di Indonesia dikendalikan hanya lima perusahaan, dua diantaranya merupakan perusahaan asing.
“Industri rokok kecil akan hilang, tak mampu bersaing dengan ekspansi pasar yang agresif dari perusahaan besar. Tax policy untuk melindungi industri kecil tidak cocok dan malah semakin merugi,” katanya.