Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Prospek Ekonomi: Harap-harap Cemas dari Jepang & China

Laporan ekonomi terbaru dari Jepang dan China baru saja dilansir. Namun, data yang ditunggu-tunggu dari kedua raksasa ekonomi di Asia tersebut justru menegaskan terobosan kebijakan para pengambil kebijakan di Tokyo dan Beijing masih jauh panggang dari api.
Warga China antre untuk bisa menggunakan kereta api pada perayaan Golden Week tahun 2012./Reuters
Warga China antre untuk bisa menggunakan kereta api pada perayaan Golden Week tahun 2012./Reuters

Bisnis.com, JAKARTA - Laporan ekonomi terbaru dari Jepang dan China baru saja dilansir. Namun, data yang ditunggu-tunggu dari kedua raksasa ekonomi di Asia tersebut justru menegaskan terobosan kebijakan para pengambil kebijakan di Tokyo dan Beijing masih jauh panggang dari api.

Perkembangan ekonomi di dua negara itu juga harus menjadi bahan pertimbangan kebijakan bagi negara berkembang di Asia terutama yang memiliki hubungan ekonomi dan bisnis yang sangat erat dengan Jepang dan China.  Pasalnya, keduanya cukup berpengaruhi bagi perekonomian negara lain.

Dalam data terbarunya, perekonomian Jepang kembali mengalami kontraksi pada kuartal IV/2015. Pemerintah meyebutkan, produk domestik bruto (PDB) Jepang tergelincir hingga 1,4%. Angka ini lebih besar daripada kuartal sebelumnya yang juga tercatat turun 1,3%.

Konsumsi sektor swasta di Jepang menjadi penyumbang terbesar penurunan PDB pada kuartal IV/2015, padahal selama ini konsumsi swasta digadang-gadang oleh Perdana Menteri Shinzo Abe sebagai tulang punggung baru ekonomi nasional.

Janji Pemerintah Jepang untuk mengejar target inflasi dan pertumbuhan ekonomi pun dipertaruhkan, terlebih nilai tukar yen saat ini masih berada di posisi yang kuat terhadap dolar Amerika Serikat.

“Ketika yen masih kuat, sektor swasta akan sangat memperhitungkan pengeluarannya. Dampaknya tingkat ekspor pun turun dan swasta akan sulit kembali menaikan konsumsinya, meskipun stimulus terbaru telah diterbitkan,” kata Atsushi Takeda, ekonom Itochu Corp di Tokyo, Senin (15/2/2016).

Kepala Ekonom Sumitomo Mistui Banking Junko Nishioka mengatakan, data ini akan menyajikan tantangan, yang ternyata belum terselesaikan bagi Abe, untuk mengeluarkan Jepang dari stagnansi ekonomi. Ekspor ke negara berkembang terbukti gagal menjadi penebus konsumsi domestik yang lambat.

Hal ini, menurut Nishioka, akan menggiring pasar untuk mengharapkan pelonggaran moneter tambahan. Dia menyadari, Bank Sentral Jepang (Bank of Japan/BOJ) mulai kehabisan amunisi kebijakan setelah menerapkan suku bunga negatif Januari lalu.

"Konsumsi swasta yang lemah terbukti membuat perekonomian seakan berhenti. Hal ini mungkin hanya masalah waktu sebelum BOJ dan pemerintah akan mengambil langkah-langkah stimulus tambahan lagi," katanya.

Sebelumnya, sejumlah stimulus moneter dan fiskal telah diterbitkan oleh Abe, sebelum menerapkan suku bunga negatif pada bula lalu. Melalui stimulus yang seakan menjadi durian runtuh bagi produsen besar di Jepang ini, Abe berharap mampu menimbulkan siklus positif bagi sektor swasta. 

Dia berharap perusahaan kan menaikkan upah dan membantu meningkatkan pengeluaran rumah tangga. Namun, rupanya stimulus tersebut belum begitu menggigit. Data menunjukkan bahwa konsumsi swasta menyumbang  60% penurunan  PDB kuartal terakhir 2015. Penurunan tersebut rupanya melebihi perkiraan pasar yang memproyeksikan  PDB Jepang hanya akan turun 1,2%.

Prospek Ekonomi: Harap-harap Cemas dari Jepang & China

Pemerintah Jepang berupaya menghembuskan optimisme. Menteri Ekonomi Nobuteru Ishihara mengatakan, bahwa setelah rilis laporan tersebut, perekonomian akan menuju pemulihan moderat karena memiliki fundamental yang tetap kuat.

Dia mengatakan indikasi tersebut tampak setelah  belanja modal tercatat naik 1,4%, mengalahkan ekspektasi pasar yang memperediksikan penurunan sebesar 0,2%.

Namun, para analis justru meragukan optimisme Ishihara tersebut. Mereka menilai Jepang masih belum akan menemukan momentum selama beberapa bulan mendatang. Hal tersebut di antaranya didasari oleh gejolak pasar baru-baru ini dan perlambatan pertumbuhan Cina, yang  mengaburkan prospek keuntungan perusahaan. Ekspor Jepang masih turun 0,9% pada Oktober-Desember setelah naik 2,6% pada kuartal sebelumnya.

Ekonomi China

Hampir serupa dengan Jepang, awan kelam pun rupanya juga masih menggelayuti perekonomian China. Ekspor Negeri Panda pada Januari 2016 juga mengalami penurunan 11,2% dari tahun sebelumnya. Sementara itu, nilai impor juga terperosok hingga 18,8%.

Anjloknya ekspor pada bulan lalu ini menandai penurunan berturut-turut selama tujuh bulan terakhir. Untuk impor, justru mencatatkan penurunan berturut-turut yang jauh lebih besar, yakni 15 bulan berturut-turut.

Berdasarkan data tersebut, China mencatatkan rekor surplus pada bulan lalu, yakni mencapai US$63,3 miliar, naik dari catatan Desember 2015 yang mencapai US$60,09 miliar. Total indeks perdagangan China pada 2015 anjlok 8% dari 2014, jauh di bawah target pertumbuhan pemerintah sebesar 6% dan menjadi kinerja terburuk sejak krisis keuangan global.

"Apabila dilihat dari sisi nominal, data ini adalah tanda negatif bagi perekonomian China, tetapi data ekonomi China secara tradisional sangat fluktuatif,  pada Januari biasanya mencerminkan situasi yang mengambang akibat adanya perayaan tahun baru China " kata Shane Oliver, Kepala Strategi Investasi AMP Capital Investors Ltd.

Dia mengatakan, tren pada Januari dan Februari berpeluang terdistorsi oleh liburan panjang Tahun Baru China. Pasalnya, beberapa perusahaan akan menutup sementara dan meliburkan bisnisnya, sehingga menimbulkan pelambatan aktivitas bisnis domestik.

Prospek Ekonomi: Harap-harap Cemas dari Jepang & China

Berdasarkan data terbaru ini, Kementerian Perdagangan  mengatakan, mulai tahun ini  pemerintah tidak akan lagi menetapkan target tahunan untuk aktivitas perdagangan luar negeri. Hal ini diambil setelah Presiden Xi Jinping menetapkan orientasi ekonomi terbaru China yang berbasis pada konsumsi dan jasa.

"Dihapusnya kebijakan penetapan pertumbuhan perdagangan tahunan pada 2016, terbukti menjadi pilihan bijaksana, karena ekspor kemungkinan akan menjadi terus memburuk, sebelum nantinya ekonomi domestik membaik dan pulih," kata Chester Liaw, ekonom Forecast Ltd, Senin (15/2/2016).

Kementerian Perdagangan China juga mengatakan, aktivitas  perdagangan luar negeri masih akan mendapat tekanan yang besar sepanjang 2016, meskipun  peningkatan permintaan yang melonjak secara temporer masih berpeluang terjadi.

Sementara itu, ekonom Bloomberg Intelligence menurut Fielding Chen, mengatakan ekspor yang lemah, berpotensi  menimbulkan risiko  lebih lanjut dalam hal pelemahan ekonomi  China. Untuk itu dia menyarankan agar pemerintah segera menerbitkan kebijakan fiskal terbaru untuk menopang penurunan tersebut. (Bloomberg/Reuters)
 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Editor : Fatkhul Maskur
Sumber : Bisnis Indonesia, Selasa (16/2/2016)
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper