Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Mematri Harapan Energi Terbarukan

Renewable energies not anymore a romantic stories. Renewable energies are becoming the mainstream fuel. Begitulah pandangan Executive Director of The International Energy Agency (IEA) Fatih Birol terhadap energi bersih, terutama energi terbarukan.
Pengecekan rutin pembangkit listrik tenaga panas bumi milik PT. Pertamina Geothermal Energy/JIBI-Nurul Hidayat
Pengecekan rutin pembangkit listrik tenaga panas bumi milik PT. Pertamina Geothermal Energy/JIBI-Nurul Hidayat

Bisnis.com, JAKARTA - Renewable energies not anymore a romantic stories. Renewable energies are becoming the mainstream fuel.” Begitulah pandangan Executive Director of The International Energy Agency (IEA) Fatih Birol terhadap energi bersih, terutama energi terbarukan.

Optimisme itu coba ditularkan kepada Indonesia, negara yang relatif masih sangat muda dalam pengembangan sumber energi ramah lingkungan. Maksud Fatih tidak terlalu berlebihan, mengingat energi terbarukan merupakan investasi masa depan untuk anak cucu sebagai pengganti energi fosil yang bakal habis.

Namun, langkah Indonesia untuk menggapai mimpi itu, kini berada di persimpangan jalan. Godaan menggiurkan tiba-tiba datang seiring kejatuhan harga minyak mentah dunia yang secara otomatis menyeret komoditas lain, termasuk batu bara.

Di tengah sulitnya mendorong pengembangan energi baru dan terbarukan lantaran nilai investasi berikut harga jual listriknya yang mahal, energi fosil seperti minyak dan batu bara wajar tetap dilirik.

Dalam beberapa tahun ke belakang, ketika harga minyak dan batu bara masih berada dalam masa keemasannya, mengembangkan energi bersih susahnya setengah mati. Hasilnya, posisi energi baru dan terbarukan dalam bauran energi nasional masih sekadar penggembira.

Berdasarkan data PLN, bauran energi yang berasal dari energi baru dan terbarukan saat ini barulah mencapai 11%. Adapun, hingga Desember 2015, PLN mencatat penggunaan listrik dari energi air mencapai 5,87%, sedangkan dari panas bumi 4,29%.

Pemerintah pun berkomitmen meningkatkan bauran energi yang berasal dari energi baru terbarukan menjadi 23% dari total energi nasional pada 2025. Hal ini mengacu kepada Perpres No. 5/2006 tentang Kebijakan Energi Nasional.

Perpres menargetkan kontribusi energi terbarukan dalam bauran energi primer nasional pada 2025 mencapai 17% dengan komposisi bahan bakar nabati 5%, panas bumi 5%, biomasa, nuklir, air, surya, dan angin 5%, serta batu bara yang dicairkan (gasifikasi) sebesar 2%.

Tentu tidak mudah untuk mencapai target tersebut. Berbagai tantangan dihadapi pemerintah. Faktor pendanaan menjadi masalah dalam pengembangan energi baru terbarukan.

Banyak lembaga keuangan yang enggan meminjamkan uang untuk swasta dalam proyek energi baru terbarukan lantaran risiko yang ditanggung terlalu besar. Selain itu, profit yang didapat juga tergolong kecil.

Situasi tersebut dipahami betul oleh pemerintah. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said menilai rendahnya harga minyak bisa menjadi perangkap apabila lengah.

“Kalau tidak hati-hati, kita akan terperangkap dengan mengambil kebijakan energi yang sangat berisiko untuk masa depan,” katanya dalam forum bisnis Bali Clean Energy Forum (BCEF) 2016 yang digelar pada 11—12 Februari 2016 di Nusa Dua, Bali, Kamis (11/2/2019).

Sudirman mengakui memang tidak mudah bagi Indonesia untuk melepaskan diri dari ketergantungan dari energi fosil. Namun, pemerintah bisa mengambil momentum dari fenomena tersebut untuk menunjukkan pada para investor asing bahwa Indonesia serius dalam mengembangkan energi bersih.

Jika bertahan dengan tradisi lama dengan energi fosil, tentu pemerintah tak perlu upaya keras untuk mengundang investasi asing masuk di bidang energi baru dan terbarukan di Indonesia.

Dalam bahasa Menteri Sudirman, Indonesia perlu mendorong kemitraan global untuk menggarap sektor ini. Tentu, hal itu dengan catatan, pemerintah tak boleh abai juga dengan potensi dari para investor lokal.

Terkait penanaman modal, dalam perhelatan BCEF yang pertama kali diadakan tersebut, ada beberapa kesepakatan baru dengan total nilai investasi mencapai Rp47,2 triliun.

Investasi yang bentuknya beragam tersebut tersebut ditujukan untuk pembangunan pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) dengan total kapasitas 765,5 megawatt (MW), pembangkit listrik tenaga surya 150 MW, serta pengembangan terminal liquefied natural gas (LNG) dengan kapasitas 125.000 meter kubik.

Kesepakatan itu sekaligus memperkuat posisi pemerintah untuk terus maju dalam pengembangan energi bersih dan terbarukan. Sudirman pun tak khawatir salah langkah.

Dia meyakini harga minyak tak selamanya rendah meskipun sulit untuk mencapai harga seperti 5 tahun ke belakang. “Akhirnya, dengan kebijakan yang jelas dan komitmen yang tinggi, kita sekarang ada pada titik di mana realisasi energi bersih menjadi keniscayaan seluruh pihak,” katanya.

STRATEGI

Pernyataannya itu selaras dengan pandangan Fatih Birol. Menurutnya, setiap negara tidak perlu takut dalam menerapkan kebijakan untuk terus meningkatkan energi bersih.

Dia menjelaskan kendati masih lebih tinggi dari lis-trik yang dihasilkan batu bara, tren harga energi bersih terus menyusut. Apalagi, jika harga minyak mulai mendaki kembali.

“Energi terbarukan sekarang semakin kompetitif. Inilah yang harus didukung pemerintah dengan menerapkan strategi jangka panjang penggunaan energi bersih,” tuturnya. Dia mencontohkan China, yang pada tahun lalu membuat sejarah dengan menurunkan konsumsi batu baranya. Di sisi lain, anggaran untuk pengembangan energi bersih terus bertambah.

PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) diharapkan meningkatkan penggunaan energi terbarukan dengan porsi mencapai 50% paling lambat pada 2025. Hal itu disampaikan Wakil Presiden Jusuf Kalla dalam pembukaan Bali Clean Energy Forum 2016. “PLN 50% [porsi penggunaan listrik] harus clean energy, sekarang baru sekitar 30%, 9 tahun dari sekarang harus fifty-fifty,” katanya.

Wapres mengaku proses perjanjian jual beli listrik energi terbarukan antara pengembang listrik swasta dengan PLN selama ini menghabiskan waktu yang panjang.

Pemerintah menjamin adanya kemudahan birokrasi perizinan investasi bagi pengembangan energi terbarukan. Kalla memahami ongkos pengembangan energi terbarukan umumnya lebih mahal dibandingkan dengan energi fosil.

Hal itu membutuhkan nilai investasi yang sangat besar, serta ketersediaan teknologi yang mumpuni. Dunia memang sedang berubah dan Indonesia sedang ikut di dalamnya.

Melepaskan diri dari candu energi fosil memang tidak mudah. Namun, bukan berarti Indonesia harus menyerah saat harga minyak terus melemah, supaya dunia yang dipenuhi energi bersih bukan sekadar menjadi kisah romantis yang terus dibayangkan tanpa pernah menjadi nyata. (Annisa L. Ciptaningtyas) 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Editor : Fatkhul Maskur
Sumber : Bisnis Indonesia, Jumat (12/2/2016)
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper