Bisnis.com, JAKARTA—Pemerintahannya Jepang melakukan sejumlah aksi demi menggerakkan inflasi negara tersebut.
Aksi terakhir adalah bank sentral Jepang (BoJ) memangkas suku bunga acuan sebesar 20 bps ke angka minus (-0,1%) yang berlaku mulai 16 Februari 2016.
“Inflasi menjadi penting bagi perekonomian Jepang karena sudah lebih dari 20 tahun harga produksi maupun investasi di Jepang terus turun, seiring mata uang yang terlalu kuat sehingga muncul keengganan dari penduduknya untuk membelanjakan uang yang dimiliki,” kata Managing Partner dari PT Investa Saran Mandiri Kiswoyo Adi Joe dalam risetnya yang diterima hari ini, Senin (1/2/2016).
Sebagai gambaran, jika 20 tahun lalu tarif sewa kantor di kawasan Tokyo adalah sebesar 200 ribu yen, maka sekarang tarif sewa untuk kantor yang sama telah turun hingga 50%.
Demikian juga untuk rumah yang dulu dibeli dengan 10 juta yen sekarang hanya tinggal seharga 5 juta yen.
Bahkan karena semua harga barang turun maka tidak mengherankan jika 10 tahun lalu gaji tamatan SMA adalah sebesar 200 ribu yen setiap bulannya, maka untuk saat ini gaji tersebut berlaku untuk mereka yang tamatan D3.
“Ironis. Namun masyarakat Jepang tetap menerima,” ujarnya.
Karena, ujarnya, walau gaji yang diterima tidak mengalami kenaikan. Tetapi daya beli dari setiap lembar yen mereka mampu membeli lebih banyak barang atau jasa seiring penurunan harga yang terjadi.
Pasar yang tahu bahwa harga barang cenderung turun, menyebabkan tidak ada pihak atau pembeli yang mau menyimpan barang maupun investasi.
“Sehingga lingkaran setan dari deflasi pun terus terjadi selama 2 dekade terakhir di Jepang,” kata Kiswoyo.
Dikemukakan sejak Perdana menteri Abe berkuasa, sudah beragam cara dan upaya dilakukan.
Usaha PM Abe dengan model Abenomics pun dilakukan, yaitu dengan pengucuran dana triliunan yen ke sistem pasar kauangan Jepang yang konsepnya hampir serupa dengan quantitative easing di Amerika pasca krisis tahun 2008.
Usaha ini berhasil karena sejarah mencatat di tahun 2015 untuk pertama kalinya perusahaan di Jepang mau menaikkan gaji karyawannya sebesar 3%, setelah selama lebih dari 20 tahun tidak pernah menaikkan gaji karyawannya.
Kenaikan harga juga terjadi pada harga barang-barang konsumsi, terutama makanan, seiring dengan pelemahan yen yang membuat biaya impor harus meningkat.
Bahkan dana pensiun Jepang yang adalah salah satu dari dana pensiun terbesar dunia, berencana untuk memperbesar porsi kepemilikan saham dan memperkecil kepemilikan surat obligasi maupun deposito setelah selama 15 tahun hampir tidak pernah mengubah persentase saham dalam kebijakan investasinya.
Pemerintah Jepang berharap dengan kemunculan inflasi akan membuat kemauan membeli dari masyarakatnya kembali timbul, sehingga pada akhirnya investasi pun kembali menarik di Jepang.
Namun rupanya kenaikan harga semata tidak mendorong masyarakat Jepang untuk belanja lebih banyak. Sifat masyarakat Jepang yang hobi menabung ditambah rata-rata usia penduduk Jepang yang sudah mencapai 48 tahun membuat pola hidup mereka lebih suka untuk menyimpan uang.
“Sifat masyarakat tersebut kemudian membuat mata uang yen dipandang sebagai safe haven oleh industri keuangan dunia bersama dengan dolar AS,” kata Kiswoyo.
Triliunan yen yang disimpan oleh masyarakat Jepang, kemudian digunakan oleh pemerintah untuk melakukan pembangunan dengan status sebagai pinjaman.
Dari sini terlihat bahwa nilai pinjaman Jepang terbesar bukan datang dari luar negeri, tetapi datang dari massyarakatnya sendiri yang memang memiliki hobi menabung.
Tetapi rupanya tabungan ini bisa menjadi masalah besar jika hanya pemerintah yang harus membelanjakannya, karena pemerintah Jepang melihat negeri Jepang sudah hampir tidak memiliki potensi pembangunan yang besar lagi.
“Disinilah pemerintah harus mengeluarkan kebijakan baru yang lebih agresif agar masyarakat mau mulai mengambil risiko. Entah untuk berusaha ataupun berinvestasi,” kata Kiswoyo.