Bisnis.com, SURABAYA - Realisasi investasi Jawa Timur jatuh ke level terendah dalam empat tahun terakhir dengan hanya membukukan Rp128,2 triliun pada 2015 akibat pelemahan ekonomi dan penurunan daya saing.
Kejatuhan ke titik terendah itu terjadi setelah realisasi investasi 2015 menurun drastis 11,6% dari pencapaian tahun sebelumnya Rp145 triliun, berdasarkan data sementara kinerja penanaman modal Jatim.
Kepala Badan Penanaman Modal (BPM) Jatim Lili Soleh Wartadipradja mengatakan kelesuan aktivitas manufaktur di provinsi itu, sebagai buntut pelemahan permintaan dunia, membuat investor asing mengerem realisasi penanaman modal. Akibatnya, realisasi investasi jauh di bawah target Rp160 triliun.
"Calon investor yang mau masuk melihat, ternyata ada penurunan permintaan dari luar. Maka, PMA (penanaman modal asing) banyak yang menahan diri untuk masuk," katanya kepada Bisnis.com, Selasa (26/1/2016).
Pengusaha domestik terpengaruh paling dalam, tecermin dari realisasi penanaman modal dalam negeri (PMDN) yang anjlok 52,2% menjadi Rp20,3 triliun. Biaya impor bahan baku yang kian tinggi akibat depresiasi rupiah membuat pengusaha di Tanah Air menunda realisasi investasi.
Dari sisi daya saing, upah minimum yang kian tinggi, tetapi tidak dibarengi dengan produktivitas tenaga kerja yang sepadan membuat Jatim kurang kompetitif. Calon investor, kata Lili, melirik Filipina atau Vietnam yang upah minimumnya lebih rendah. Jatim pada 2015 mematok upah minimum kota/kabupaten Rp1,15 juta-Rp2,71 juta.
Realisasi investasi pun terkendala pembebasan lahan. Lili memaparkan perusahaan padat karya umumnya emoh mendirikan pabrik di kawasan industri karena harga lahannya mahal. Padahal, sulit membebaskan lahan di luar kawasan industri.
Di sisi lain, Jatim masih mempunyai permasalahan klasik berupa pemrosesan izin lanjutan yang lama di level kabupaten/kota. Dokumen itu mencakup izin mendirikan bangunan (IMB), izin gangguan (HO), dan analisis mengenai dampak lingkungan (amdal). Pengurusan izin lanjutan itu bisa menghabiskan 9 bulan.
"Sekalipun sudah ada PTSP (pelayanan terpadu satu pintu) di tiap kabupaten/kota, tapi yang mengerjakan masih dinas-dinas. Masih belum seragam," ungkap Lili.