Bisnis.com, JAKARTA — Koreksi harga komoditas kakao pada awal pekan ini diyakini bakal mendongkrak permintaan yang cenderung melemah akibat krisis global sepanjang tahun lalu.
Direktur Eksekutif Asosiasi Industri kakao Indonesia (AIKI) Sindra Wijaya mengakui harga kakao sepanjang 3 hari pertama bulan ini bergerak menurun. Hal tersebut disambut positif karena harga kakao selama ini sudah terlalu tinggi.
Sindra menilai kondisi tingginya harga kakao pada tahun lalu sebenarnya tidak normal karena pada saat yang sama harga komoditias lainnya justru menurun.
“Tahun kemarin [permintaan] agak melemah. Mudah-mudahan sekarang menguat lagi. Tahun lalu, daya beli melemah karena dua hal, harganya tinggi dan krisis global,” kata Sindra kepada Bisnis.com, Kamis (7/1/2016).
Kendati demikian, pada tahun ini bisnis kakao dinilai masih menghadapi masalah yang sama seperti tahun-tahun sebelumnya, yaitu masalah pasokan. Produksi biji kakao Indonesia menunjukkan kecenderungan terus menurun.
Minimnya produksi biji kakao dalam negeri menjadi hambatan bagi industri pengolahannya. Saat ini, kapasitas terpasang produksi kakao mencapai 800.000 ton, sementara itu produksi biji kakao hanya mencapai 400.000 ton.
Jika produksi bisa digenjot, hal itu akan memberi dampak positif bagi para produsen kakao olahan. “Sekarang kita adalah produsen biji kakao terbesar ketiga di dunia, setelah Pantai Gading dan Ghana. Pak Jusuf Kalla kan belum lama menyampaikan ingin menjadi yang terbesar. Itu sangat mungkin terjadi karena kita punya areal yang sangat memadai, yakni seluas 1,7 juta hektare.”
Jika peningkatan produksi tersebut bisa dilakukan, Sindra optimistis Indonesia tidak hanya menjadi produsen biji kakao terbesar di dunia, tetapi juga produsen kakao olahan terbesar di dunia.
Jika kapasitas terpasang sebesar 800.000 ton tersebut dapat terpenuhi maksimal, otomatis Indonesia akan menjadi produsen kakao olahan terbesar, dan mengalahkan Belanda, Jerman, Amerika, dan Pantai Gading.
KAKAO OLAHAN
Sementara itu, saat ini mulai terjadi peralihan negara tujuan ekspor kakao Indonesia. Dulu, ekspor biji kakao Indonesia paling besar ditujukan ke Malaysia. Akan tetapi, saat ini ekspor biji kakao Indonesia sudah semakin mengecil.
Tahun lalu, ekspor biji kakao hanya mencapai 60.000 ton. Pada saat yang sama, terjadi peningkatan ekspor kakao olahan ke negara tujuan lainnya. Ekspor RI paling banyak dalam bentuk kakao olahan ditujukan ke Eropa, Amerika, China, serta Timur Tengah.
Negara tujuan ekspor tersebut masih berpeluang untuk diperluas mengingat pada dasarnya cokelat digemari oleh semua kalangan. “Sangat terbuka untuk dilebarkan lagi negara tujuan ekspornya. Contohnya seperti ke Eropa Timur dan negara-negara berkembang lainnya.”
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, nilai ekspor kakao (biji kakao dan produk olahan) pada periode Januari–November 2015 mencapai US$1,19 miliar, atau naik 0,044% dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu sebesar US$1,14 miliar.
Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (Gapmmi) juga mengakui peningkatan pengapalan produk makanan dan minuman kakao olahan maupun produk kakao semi olahannya.
Nilai ekspor pada 2014 mencapai US$1,25 miliar atau naik 8% dibandingkan dengan nilai ekspornya pada 2013 sebesar US$1,15 miliar. "Pada periode Januari–September 2015, nilai ekspor produk olahan tersebut mencapai US$976,26 juta," kata Ketua Umum Gapmmi Adhi S. Lukman.
Secara terpisah, Ketua Umum Asosiasi Kakao Indonesia (Askindo) Zulhefi Sikumbang mengaku pesimistis menghadapi tahun ini. Pasalnya dari segi produksi, dia belum melihat adanya peningkatan produksi pada tahun ini.
Diprediksi produksi pada 2016 tidak akan sama dengan 2015 karena belum ada upaya pemerintah untuk menggerakkan petani dengan cara yang tepat dan metode yang benar.
Dari segi harga, dengan kondisi harga tinggi selama 2 tahun terakhir, kemungkinan harga kakao untuk kembali menguat pada tahun ini akan sangat sulit. Ada tendensi harga justru terus bergerak turun jika ekonomi tidak membaik.