Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

PERANG PAKET KEBIJAKAN: Ketika Ketidakpastian Terkikis

Tahun lalu menjadi puncak bagi drama ketidakpastian ekonomi yang terus menggelayuti pasar global. Negara-negara kuat di sektor ekonomi dunia, telah menunjukkan jurus dan mantra termutakhirnya, demi menunjukkan kekuatan sekaligus mempertahankan ketahanan ekonominya.
Gubernur Bank Sentral Amerika Serikat, Janet Yellen. /Reuters
Gubernur Bank Sentral Amerika Serikat, Janet Yellen. /Reuters

Bisnis.com, JAKARTA - Tahun lalu menjadi puncak bagi drama ketidakpastian ekonomi yang terus menggelayuti pasar global. Negara-negara kuat di sektor ekonomi dunia, telah menunjukkan jurus dan mantra termutakhirnya, demi menunjukkan kekuatan sekaligus mempertahankan ketahanan ekonominya.

Dalam hal ini, muncul tiga negara plus satu kawasan —kekuatan ekonomi dunia— yang menjadi aktor utama, sebagai penanggung jawab atas paket kebijakan ekonomi mereka yang berdampak secara global. Mereka adalah Amerika Serikat (AS), China, Uni Eropa dan Jepang.

Seperti sudah menjadi hal yang wajar ketika persaingan keempat tokoh utama tersebut mengemuka, 'pemain figuran' yakni negara berkembang menjadi korbannya Isu perang mata uang menjadi cerita yang paling menarik sepanjang tahun ini.

AS dan China menjadi dalang utamanya, setelah negeri Paman Sam tersebut resmi menghentikan program quantitative easing (QE) pada 29 Oktober 2014. Fase tapering off pun dimulai hingga awal 2015.

Proses dolar AS yang ‘pulang kampung’, memaksa China cukup kalabakan hingga tahun ini. Yuan yang semula membanjiri pasar global, sehingga membuat mata uang ini terdepresiasi, dan membuat harga produk ekspor mereka turun pun harus menghadapi kenyataan baru,yakni kebangkitan AS.

China yang sebelumnya dapat memegang kendali penuh atas AS karena memegang greenback dengan jumlah yang sangat besar, harus merelakan kembalinya kekuatan AS beserta sejumlah perbaikan data ekonomi negara tersebut.

Fenomena ini, membuat Bank Sentral AS (The Fed/Federal Reserve) menilai perlu untuk menaikkan suku bunga acuannya demi menarik minat investor secepat mungkin.

Pada 5 Januari 2015 Presiden The Fed Philadelphia Charles Plosser dan Direktur The Fed Philadelphia Michael Dotsey resmi menyerahkan rekomendasi pengetatan moneter tersebut ke Gubernur The Fed Jannet Yellen, guna mengikuti laju perbaikan ekonomi AS.

Indikasi pelemahan China pada tahun ini pun muncul setelah aktivitas sektor manufaktur China pada Desember 2014 melambat, akibat kenaikan biaya operasional perusahaan dan penurunan permintaan konsumen.

Purchasing Manager’s Index (PMI) sektor manufaktur di China pada Desember 2014 turun ke level 50,1 dibandingkan dengan 50,3 pada November 2014. Perdana Menteri China Xi Jinping pun berjanji akan meneruskan kebijakan reformasi struktural untuk kembali mendorong perekonomian negara tersebut.

Memasuki Februari 2015, inflasi China pada Januari diumumkan menyentuh angka terendah dalam 5 tahun terakhir. Inflasi tahunan hanya sebesar 0,8% sementara harga produsen mengalami deflasi sebesar 4,3%.

AS dengan jumawa mengumumkan bahwa jumlah lapangan kerja baru di AS pada Januari meningkat 3,7% menjadi 5 juta. Jumlah pekerja yang terserap juga meningkat 1,9% menjadi 5,1 juta.

Menguatnya persaingan ini, membuat negara anggota G-20 yang berkumpul di Istanbul, Turki, 12 Februari 2015 menyampaikan kekhawatiran akan adanya perang mata uang lanjutan. Terlebih setelah Jepang telah mulai melakukan QE pada 31 Oktober 2014.

G-20 menyepakati pelarangan devaluasi mata uang yang memicu perang kurs paling tidak sampai dua tahun ke depan. Forum ini juga kompak sepakat agar negara akan melonggarkan moneternya, yang dengan sendirinya memperlemah mata uangnya, mengomunikasikan hal itu kepada mitra dagangnya untuk menghindari munculnya dampak negatif.

“Kami menyatakan bahwa perekonomian China saat ini sudah lebih stabil dan konsumsi domestik mengalami peningkatan, kami akan menaruh fokus untuk membantu menyelesaikan ketidakpastian outlook ekonomi 2015,” kata Wakil Gubernur Bank Sentral China (PBOC) Yi Gang kala itu.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Halaman Selanjutnya
Persaingan Berlanjut
Editor : Fatkhul Maskur
Sumber : Bisnis Indonesia, Senin (4/1/2016)
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper