Bisnis.com, JAKARTA—Di tengah banyaknya pesanan kapal dari pemerintah, Ikatan Perusahaan Industri Kapal dan Lepas Pantai Indonesia (Iperindo) menyayangkan potensi belanja komponen kapal masih dinikmati oleh industri luar negeri karena 65% dari komponen masih dipenuhi melalui impor.
Budhiarto Sulaiman, Wakil Ketua bidang Konsultan dan Industri Pendukung Iperindo, mengungkapkan komponen kapal yang masih diimpor sekitar 65%, sisanya 35% sudah diproduksi di dalam negeri.
“Yang saya sayangkan, kita menggelontorkan uang banyak dalam rangka mewujudkan program tol laut, tetapi 65% harus beli dari luar. Kita jadi memberikan wahana dan lapangan kerja kepada negara lain,” katanya usai peletakan lunas terpadu 6 Kapal Ro-Ro di Galangan Kapal Daya Radar Utama, Jakarta, Jumat (18/12/2015).
Dia mengungkapkan biaya pembangunan kapal nasional pada tahun ini nilainya sekitar Rp11,4 triliun hingga Rp16 triliun. Berdasarkan kalkulasi tersebut, maka Rp7,41 triliun – Rp10,4 triliun dinikmati oleh industri komponen kapal asing.
“Bayangkan 65% dari Rp10 triliun orang dari Singapura, China, Jepang dan Malaysia yang menikmatinya karena mereka bisa membuat mesin induk kapal,” ujarnya yang menjabat sebagai Direktur Utama PT Teknik Tadakara Sumberkarya.
Sisanya dipenuhi oleh industri dalam negeri yang hingga saat ini baru dapat memasok pelat, panel listrik, AC dan komponen lain.
Sementara itu, mesin induk, dinding kapal, siku pelat dan pompa masih harus dipenuhi melalui impor. Dia memberikan contoh, dinding kapal yang kesannya sederhana masih harus diimpor karena dinding kapal ini bukan dinding biasa.
Menurutnya, dinding ini tidak sekedar dinding berbahan alustar alumunium saja, tetapi material ini harus memenuhi standar Safety of Life at Sea (SOLAS) dan International Maritime Organization (IMO). Untuk dinding ini, pengusaha galangan kapal harus impor dari beberapa produsen seperti China, Korea, atau yang paling dekat Malaysia.
Iperindo menyadari kondisi industri penunjang kapal ini sangat minim karena informasi detail tentang apa yang dibutuhkan kapal masih minim.
Dia bahkan mengapresiasi dibentuknya Asosiasi Industri Komponen Kapal Indonesia (AIKKI) yang umumnya beranggotakan pengusaha otomotif. Lebih lanjut, asosiasi yang baru berdiri enam bulan ini sudah berkomitmen ingin membuat jendela dan pintu kapal yang sesuai dengan standar IMO dan SOLAS.
Budhiarto sendiri memandang pemenuhan standar komponen yang harus sesuai dengan regulasi internasional bukan sebagai hambatan.
“Regulasi SOLAS dan IMO serta klas dari BKI bukan hambatan tetapi tantangan yang harus dibaca dokumennya dan diteliti. Saya awalnya [membuat switchboard panel] selalu bermasalah, sekarang saya lebih tahu dari BKI,” ujarnya.
Pada prinsipnya, Budhiarto mengaku sangat mendorong agar industri otomotif dan industri baja untuk ikut berpartisipasi dalam memproduksi komponen kapal. Kedepannya, dia berencana mengajak pemain komponen otomotif ini untuk berkunjung ke Jepang untuk menunjukan betapa pentingnya industri ini.
“Negara maju seperti Korea dan Jepang bisa berkembang baik industri galangan kapalnya karena industri penunjangnya sangat mendukung,” tegasnya.