Bisnis.com, JAKARTA – Merespons rendahnya kesadaran petani untuk melakukan fermentasi pada produk kakaonya, pemerintah diminta menyusun regulasi yang mengakselerasi petani mengimplementasikan skema tersebut.
Dalam Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) nomor 67 Tahun 2014 yang disahkan 2 Mei 2014 tentang Persyaratan Mutu dan Pemasaran Biji Kakao, disebutkan bahwa seluruh petani kakao wajib mengimplementasikan kakao fermentasi untuk memenuhi Standar Nasional Indonesia (SNI) 2323:2008/2010.
Ketua Asosiasi Kakao Fermentasi Indonesia, Samsudin Said mengatakan pemerintah perlu melakukan upaya tertentu untuk mengakselerasi jumlah petani yang memfermentasi kakaonya. Pasalnya, pemerintah menargetkan implementasi 100% dalam 2 tahun setelah Permentan tersebut diundangkan, tepatnya Mei 2016.
“Saya sudah sampaikan pada pemerintah agar 2015 ini harusnya jangan ada lagi petani yang menjual kakao yang nonfermentasi. Bayangkan kalau pemerintah keluarkan regulasi untuk tidak menjual biji kakao asalan, nilai tambahnya itu bisa Rp3.000 per kilogram,” kata Samsudin di Jakarta, Senin (14/12/2015).
Dia merujuk pada harga kakao dengan kualitas asalan atau nonfermentasi yang saat ini harganya berkisar Rp30.000 per kilogram, sedangkan kakao fermentasi harganya dapat mencapai Rp37.000 per kilogram. Nilai tambahnya cukup tinggi, dibandingkan dengan penambahan biaya produksi sebesar Rp1.000 per kilogram untuk kakao fermentasi.
Samsudin mengungkapkan bahwa petani kerap merasa malas untuk menerapkan fermentasi pada produksi kakaonya karena butuh 3-4 hari lagi untuk mengeringkan, dan terjadi penyusutan bobot 3%-5%. Ada pula risiko tingkat fermentasi yang tidak sesuai standar pabrik.
“Kalau petani hanya punya seperempat hektare, atau 1,5 hektare, mereka cenderung malas. Padahal hanya butuh 3-4 hari untuk fermentasi dan harganya jauh lebih bagus. Harusnya ada larangan diperdagangkan untuk yang nonfermentasi,” kata Samsudin.
Dia menambahkan beberapa pabrik dan eksportir mulai berorientasi pada penyerapan biji kakao fermentasi. Hal ini dinilai akan menjadi daya dorong yang cukup signifikan bagi upaya fermentasi petani.
Dia menekankan jika implementasi fermentasi kakao lamban, maka produk kakao Indonesia akan kalah bersaing dengan produsen utama dunia yaitu Ghana yang sudah 100% melaksanakan fermentasi kakao.
Sebagai informasi, poin penting dari Permentan 67 Tahun 2014 yaitu kakao yang dipasarkan harus memenuhi standar mutu yang dibuktikan dengan Surat Keterangan Asal Lokasi Biji Kakao (SKAL-BK) dan sertifikat jaminan mutu pangan hasil pertanian (SJM BK).
Sebagian besar petani kakao dalam negeri masih menjual biji kakao bukan fermentasi atau yang disebut biji kakao asalan. Padahal, kewajiban Permentan itu harus sudah berlaku 100% untuk petani kakao pada Mei 2016 mendatang.
Sementara itu, data Direktorat Jenderal Perkebunan menujukkan produksi kakao tahun lalu yaitu sebesar 709.331 ton, dan tahun ini diprediksi turun hingga 701.229 ton. Rata-rata 30% dari total produksi setiap tahun dieskpor ke beberapa negara.
Gamal Nasir, Dirjen Perkebunan Kementerian Pertanian, mengatakan pemerintah masih terus mendorong Gerakan Nasional (Gernas) Kakao untuk dapat mendorong produksi komoditas tersebut. Adapula program penanaman kembali (replanting) kakao.
“Tahun depan akan ada pengembangan kakao, replanting, intensifikasi tanaman kakao di 65 kabupaten, dan perluasan lahan kakao sebesar 1.500 hektare,” kata Gamal.