Bisnis.com, SEMARANG - Ekspor mebel dan furnitur di Jawa Tengah diprediksi bakal meningkat sekitar 25% seiring dengan membaiknya perekonomian global pada tahun depan.
Ketua Asosiasi Pengusaha Mebel Indonesia (Asmindo) Jawa Tengah Eri Sasmito mengatakan industri mebel dalam kurun satu tahun ini mengalami penurunan ekspor di atas 10% karena pengaruh ekonomi dunia yang turut melambat, termasuk di Uni Eropa.
Menurutnya, Eropa merupakan negara yang paling banyak memakai produk mebel dari Indonesia. Adapun, permintaan di negara kawasan Asean tidak terlalu banyak.
Dia menerangkan semestinya pengusaha mebel berorientasi ekspor dapat mengeruk keuntungan lebih saat menguatnya dolar Amerika terhadap mata uang di perlbagai dunia, salah satu Indonesia.
Namun demikian, sejumlah pembeli dari luar negeri justru meminta potongan harga atau diskon.
“Ekspor tahun ini tidak bisa diandalkan. Semua sektor mengalami hal serupa. Untuk 2016, kami optimistis ekspor bisa mencapai 25%,” ujar Eri kepada Bisnis, Jumat (11/12/2015).
Target pertumbuhan ekspor pada tahun depan, katanya, juga harus didukung dengan realisasi paket kebijakan ekonomi dari tahap pertama hingga ketujuh. Di samping itu, pemerintah harus berkomitmen untuk menjalankan paket ekonomi di tingkat daerah.
Eri tidak menginginkan program dari pemerintah perihal kemudahan investasi dan percepatan perizinan mandek di tengah jalan. Menurutnya, target pemerintah meningkatkan ekspor mebel di angka US$5 miliar pada 2019 harus diimbangi dengan ketersedian bahan baku.
Pihaknya khawatir bahan baku untuk produk mebel akan menyusut setiap tahun. Selama ini, ujarnya, pemerintah melarang impor bahan baku kayu karena menyakini pasokan bahan baku dalam negeri tercukupi.
“Kalau kami ditarget nilai ekspor terlalu tinggi, sementara ketersedian bahan baku dari kayu terus menipis. Apa mungkin bisa terealisasi?,” tanya Eri.
Jika mengacu pada sejumlah negara maju, seperti China dan Vietnam, ujarnya, pemerintah setempat mendukung impor bahan baku kayu untuk diolah menjadi barang jadi yang memiliki nilai tambah.
Di sisi lain, Eri memaparkan penggunaan sistem verifikasi legalitas kayu (SVLK) bersifat opsional. Khusus untuk perdagangan ke luar negeri, Kementerian Perdagangan sudah mengeluarkan klasifikasi industri terkait penggunaan SVLK tersebut.
Menurutnya, untuk klasifikasi A yaitu industri yang bersifat primer wajib mengantongi SVLK. Salah satu industri yang masuk klasifikasi A yaitu yang memproduksi kayu lapis.
Selanjutnya, untuk industri klasifikasi B tidak harus menggunakan SVLK kecuali permintaan dari pembeli. Industri yang masuk klasifikasi B di antaranya memproduksi furnitur dan kerajinan tangan.
"Sekarang ini, SVLK sifatnya tidak wajib, kalau ada kesepakatan dengan pembeli harus menggunakan SVLK ya artinya harus memenuhi kesepakatan tersebut," katanya.
Penggunaan SVLK yang bersifat opsional, lanjutnya, diharapkan dapat mempermudah dan meningkatkan volume ekspor mebel dari Indonesia. Adapun, upaya yang digenjot Pemerintah untuk mendongkrak volume ekspor mebel tersebut yaitu mencabut dokumen eksportir terdaftar industri kehutanan (etpik).