Bisnis.com, JAKARTA – Badan Perencanaan Pembangunan Nasional menilai kerusakan lahan gambut bukan justifikasi yang tepat untuk membentuk lembaga ad hoc bernama Badan Restorasi Ekosistem Gambut.
Direktur Kehutanan Bappenas Basah Hernowo mengatakan kerusakan lahan gambut tidak sama dengan dampak bencana tsunami Aceh pada 26 Desember 2004. Ketika itu, pemerintah membentuk Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh-Nias guna memulihkan kedua daerah dari bencana terbesar abad 21 itu.
“Kalau BRR itu kasusnya beda. BRR itu ada karena bencana nasional yang masif dan memang butuh lembaga ad hoc,” katanya saat dihubungi Bisnis.com.
Basah mengatakan kerusakan gambut juga bukan bencana alam melainkan kesalahan manusia. Hal itu terjadi akibat akumulasi kesalahan puluhan tahun dari berbagai pelaku, baik itu perusahaan, individu, maupun pemerintah daerah yang mengeluarkan izin konsesi.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan memang berencana membentuk BREG untuk merestorasi 2 juta hektare (ha) lahan gambut yang rusak selama lima tahun. Kementerian itu mengestimasi dibutuhkan biaya Rp30 triliun–Rp54 triliun untuk kegiatan restorasi, baik dari segi hidrologi maupun vegetasi.
BREG sebagai lembaga ad hoc akan mengkoordinasikan instansi-instansi pemerintah terkait a.l. Kementerian Pekerjaan Umum dan Bappenas. Badan tersebut juga akan diisi oleh kalangan aktivis dan akademisi.
Sebelumnya, Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan badan restorasi akan bekerja mirip dengan BRR yang memulihkan Aceh dan Nias dari tsunami. Kesamaannya, lembaga itu akan menghimpun dana dari berbagai sumber: anggaran negara, bantuan lembaga donor, korporasi lokal dan asing.
BRR dibentuk pada April 2005 setelah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menerbitkan Perpu No. 2/2005 tentang Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah dan Kehidupan Masyarakat Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Kepulauan Nias Provinsi Sumatera Utara.
Pemerintah ketika itu menyadari BRR harus diakomodasi dalam sebuah undang-undang. Pasalnya, tidak hanya di Indonesia, negara manapun belum pernah membentuk sebuah badan khusus untuk menangani pemulihan pascabencana.
Dewan Perwakilan Rakyat, yang sepakat dengan syarat kegentingan yang memaksa, menyetujui perpu dijadikan undang-undang. Selama empat tahun bekerja, BRR yang dipimpin Kuntoro Mangkusubroto dianggap sukses membangun kembali Aceh dan Nias dengan dana US$7 miliar.