Doni Sidharta, pria yang sudah tiga bulan menjadi pengemudi mobil berbasis aplikasi Uber untuk mencari penumpang. Bersama dengan rekannya Kusmayadi, 70 unit mobil berhasil dikendalikannya di bawah bendera PT Bina Bangun Mandiri atau BBM Rental.
Berbagai kalangan juga bergabung menjadi pengemudinya seperti mahasiswa, pengacara, pegawai swasta dan pegawai pemerintah.
“Kalau kita ilegal, tunjukkan bagaimana caranya supaya kita legal karena ini sudah menyangkut harkat hidup orang banyak. Ini sudah ribuan orang,” ucapnya di Jakarta, Selasa (20/10/2015)
Aplikasi Uber diklaim telah mengubah kehidupan kedua pria itu termasuk ribuan orang lainnya. Risikonya, mobil pelat hitam yang mengangkut penumpang itu adalah target operasi Dinas Perhubungan DKI Jakarta. Tarif yang lebih murah yaitu Rp3.000 per buka pintu menjadi ancaman eksistensi mobil pelat kuning yang mengenakan tarif awal Rp7.500.
Perkembangan teknologi masih belum bisa diakomodasi. Padahal, dia bersedia untuk membayar uji kendaraan bermotor atau KIR dan kewajiban lainnya seperti Pajak Penghasilan agar tetap bisa beroperasi mengangkut penumpang.
“Asal jangan suruh pakai pelat kuning karena mobil saya sering saya pakai kondangan. Kita ikuti rules, enam bulan sekali KIR kita bayar. Pengemudi kita kena PPh 21, kita bayar. Tapi tolong difasilitasi, jangan dipersulit,” ujarnya.
Dia mengaku Uber yang menanggung seluruh biaya administrasi. Saat mobil dikandangkan selama 10 hari, pengemudi tetap mendapat insentif dari pihak Uber. Doni yang dulunya bekerja di kantoran ini merasa bebas untuk berkreasi menjalankan bisnis barunya. Begitu pula dengan Kusmayadi yang 9 tahun pernah berprofesi sebagai pengemudi taksi pelat kuning.
Menurutnya, bekerja dengan mobil pribadi yang dijalankan untuk mengantar penumpang lebih banyak menghasilkan pemasukan. Setiap hari 70 unit mobil berhasil membukukan perjalanan 10—12 trip per unitnya dengan potensi pendapatan Rp500.000/mobil. Sementara, biaya bahan bakar hanya 20%—25% dari penghasilan per hari per unit mobil.
“Saya pernah kerja di taksi eksekutif sehari dapat Rp1,5 juta yang masuk kantong saya Rp200.000, belum dipotong makan,” katanya.
Soal pesaing, GrabCar, mereka tak khawatir kehilangan pasar karena Uber disasar oleh pengguna yang memiliki kartu kredit. Pembayaran nontunai itu secara otomatis telah menyaring penumpang yang didominasi dengan kalangan menengah ke atas. Sedangkan GrabCar dapat diakses oleh siapapun karena pembayarannya tunai.
Sebelumnya, Ketua Perkumpulan Pengusaha Rental Indonesia (PPRI) Hendric Kusnadi mengatakan keberadaan aplikasi seperti GrabCar dan Uber telah memudahkan pengusaha untuk menjaring konsumen setiap harinya. Konsep ride sharing ini telah mengerek keuntungan perusahaan 70%—80%.
Padahal, dulunya pengusaha rental mobil hanya mengandalkan jaringan yang dimiliki sehingga mobil yang disewa terbatas untuk melayani acara pernikahan, acara pemerintahan, dan peristiwa besar lainnya seperti Konferensi Asia Afrika.
“Dulu kita semua saling bidding. Cuma kalau sekarang kita tidak perlu bidding-bidding-an karena yang kita angkut kan masyarakat umum. Ya, jadi ini akan lebih jelas dan lebih fair,” ucapnya.
Smart Transportation
Sementara itu, Dirjen Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan Djoko Sasono menyatakan adanya pergeseran kultural di masyarakat yang mengincar sektor transportasi sebagai lahan pekerjaan, termasuk sepeda motor. Dia mendorong pembangunan smart transportation dengan memanfaatkan teknologi.
“Pemanfaatan teknologi yang kurang bijak akan berbenturan dengan kita. Ada aturan yang selama ini kita pahami tidak mesti tertulis,” ujarnya.
Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta Andri Yansyah mengajak agar kendaraan pribadi yang mengangkut penumpang bertransformasi menjadi angkutan umum sesuai dengan aturan. Kerja sama antara perusahaan aplikasi yang menawarkan jasa transportasi harus menggandeng perusahaan angkutan umum yang memiliki izin.
Hal itu juga berlaku bagi aplikasi yang berafiliasi dengan anggota PPRI. Dia menekankan jasa rental mobil yang belum memperoleh kartu hijau persetujuan pengurusan izin kerja sama tidak boleh menjalankan mobil pribadi untuk mengangkut penumpang.
“Aplikasi harus kerjasama dengan angkutan umum yang punya izin. Kalau belum, nanti kita susah kontrol, pajak kemana saya enggak tau. Kalau [PPRI] prosesnya [perizinan di Dishub DKI] sudah selesai baru kerjasama. Kalau belum ya salah,” jelasnya.
Ketua DPP Organisasi Pengusaha Nasional Angkutan Bermotor Di Jalan (Organda) Adrianto Djokosoetono menuturkan aplikasi membantu kemajuan pelaku industri transportasi. Namun, dia berharap kehadiran aplikasi tidak menggalang persepsi bahwa angkutan pribadi yang beraplikasi berhak difasilitasi. Hingga kini, Organda belum dapat memperhitungkan jumlah penurunan pengguna angkutan umum resmi baik bertrayek maupun nontrayek.
“Efeknya kita belum bisa jawab karena mereka [perusahaan aplikasi] tidak share berapa penumpangnya, apakah pengaruh dari promosi atau karena real demand,” katanya.
Memang, kebanyakan perusahaan aplikasi tidak pernah membeberkan angka pasti jumlah pengemudi, armada, dan order dari penumpang. Uber hanya mengklaim saat ini ada ratusan ribu pemesanan dan ribuan mobil yang tersebar di Jakarta dan sekitarnya, termasuk Bandung.