Bisnis.com, JAKARTA — Komisi Pemberantasan Korupsi menyatakan sistem verifikasi legalitas kayu (SVLK) masih dibutuhkan untuk menjamin legalitas produk ekspor industri kehutanan di tingkat hulu hingga hilir.
Peneliti Direktorat Penelitian dan Pengembangan KPK Hariadi Kartodihardjo menilai SVLK berperan penting untuk memastikan keabsahan dokumen perizinan di sektor kehutanan. Dia menengarai tanpa SVLK perusahaan kerap abai terhadap prosedur hukum seperti pengemplangan pajak.
“Kita lihat perusahaan di sektor hilir banyak sekali yang legalitasnya tidak jelas. Di sektor hulu SVLK berguna untuk memastikan perusahaan benar-benar legal,” ujarnya di Jakarta, hari ini, Kamis (15/10/2015).
Kendati demikian, Hariadi menyebut SVLK belum dapat diandalkan untuk mencegah kerugian negara di sektor kehutanan seperti kebocoran pendapatan negara bukan pajak (PNBP). Pasalnya, masalah sektor kehutanan tidak melulu soal legalitas tetapi juga pencatatan administrasi yang memadai dan akurat.
“Ibarat ijazah, pada sistem SVLK yang penting Anda punya ijazah, tapi tidak menelusuri ijazah palsu atau tidak,” kata Guru Besar Kebijakan Kehutanan Institut Pertanian Bogor ini.
Oleh karena itu KPK juga mengusulkan kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk memperbaiki sistem SVLK. Hariadi menilai SVLK masih menggunakan paradigma tahun 2003 ketika masih sistem tersebut pertama kali diwacanakan.
Ketika itu, sebagian besar kayu hutan alam yang dipasok ke industri pengolahan berasal dari konsesi hak pengelolaan hutan (HPH). Saat ini, lanjut dia, kayu untuk industri hilir dipasok dari areal pembukaan lahan, bukan sistem tebang pilih.
Alhasil, masih ada celah yang berpotensi menyebabkan perusahaan pengolahan bersertifikat SVLK untuk menggunakan kayu yang belum tercatat atau berasal dari area tidak berizin. “Prosedur SVLK harus beradaptasi dengan perubahan ini.”
Dia mencontohkan industri pengolahan kayu atau pabrik pulp dapat diberikan sertifikat SVLK tanpa adanya pemeriksaan lapangan ke areal pembukaan lahan yang merupakan sumber pasokan bahan baku. Semestinya, prosedur pemeriksanaan SVLK semakin ketat seperti dengan inspeksi mendadak ke lapangan.
Indonesia akan mengimplementasikan SVLK secara penuh pada 1 Januari 2016. Namun, Kementerian Perdagangan justru berencana menghapus kewajiban SVLK untuk 15 klasifikasi produk-produk mebel (Harmonized System/HS Code). Hal itu tertuang dalam draf revisi Peraturan Menteri Perdagangan No. 66/2015.
Adapun, beleid yang akan diubah itu merupakan pengganti Permendag No. 12/2014 tentang Ketentuan Ekspor Produk Industri Kehutanan yang terbit pada 27 Agustus dan menghapus masa berlaku Deklarasi Ekspor (DE).
Permendag No. 12/2014 sebelumnya membolehkan pelaku Industri Kecil dan Menengah Eksportir Terdaftar Produk Industri Kehutanan (IKM-ETPIK) menggunakan DE sebagai pengganti sementara dokumen V-Legal—sebagai bukti memiliki SVLK.
Namun, dalam calon beleid anyar DE dan bahkan SVLK tidak lagi wajib untuk 15 HS Code tersebut.