Bisnis.com, JAKARTA - Floating Storage Regasification Unit (FSRU) Lampung mangkarak akibat daerah itu bukan daerah industri atau pun tujuan industri.
"Jadi, mangkraknya FSRU Lampung sudah diprediksi sejak awal. Ini karena kondisi Lampung. Ini bukan daerah industri, tujuan industri," ujar kata Direktur Ekesekutif Energy Watch Indonesia Ferdinand Hutahaean di Jakarta, Jumat (10/9/2015).
Menurut dia, kondisinya berbanding terbalik dengan kondisi sebelumnya, ketika FSRU direncanakan beroperasi di Belawan oleh Pertamina. “FSRU Lampung dipaksakan. Kita tidak pernah tahu, mengapa tiba-tiba dipindahkan ke Lampung. Padahal ketika itu Pertamina sudah melakukan visibility study. Padahal, di Sumatra Utara, banyak industri yang bisa menyerap gas dari FSRU Belawan.,” kata Ferdinand Hutahaean.
Dalam konteks ini Ferdinand meminta, jajaran PGN guna membuktikan komitmen awal untuk menyalurkan gas ke 14 industri plus tiga pembangkit listrik di Lampung di antaranya Hotel Aston Lampung, PT Garuda Food Putra Prima, PT Gizai Utama, Novotel Lampung, PT Coca Cola Amatil, dan PT Nestle Indonesia. Sedangkan tiga pembangkit listrik yang dimaksud adalah Sri Bawono, Sutami, dan Tarahan.
“Nyatanya bagaimana? Tidak satupun yang mempergunakan gas dari FSRU Lampung. Bahkan PLN akhirnya kembali mempergunakan solar dan batu bara, karena tidak adanya kesesuaian harga,” lanjut Ferdinand.
Dengan adanya kasus tersebut, Ferdinand berharap PGN kembali fokus pada sektor hilir, dan tidak usah memaksakan diri di sektor hulu. "Jangan hanya tergiur keuntungan besar, kemudian merambah bisnis yang tidak dikuasai. Akibatnya bisa fatal. Lihat saja bursa efek, harga saham mereka terjun bebas dan mengalami auto reject di bawah 10%,” katanya.
Komaidi Komaidi Notonegoro, Direktur Eksekutif Reforminer Institute, mengatakan mangkraknya FSRU Lampung bisa menjadi pertimbangan pemerintah dalam menentukan aggregator gas. Meski saat ini, aggregator gas masih berupa wacana, namun kewenangan yang besar, membuat pemerintah harus cermat sebelum membuat keputusan.
“Ibaratnya, untuk FSRU yang skalanya kecil saja tidak mampu, apalagi untuk aggregator gas yang memiliki tugas lebih berat, yakni dari hulu sampai hilir. Tentu saja, pertimbangan tersebut harus objektif dan melihat berbagai penyebab ketidakmampuan FSRU Lampung yang dikelola PGN dalam menyerap gas domestik,” kata Komaidi.
Komaidi mengingatkan, mangkraknya FSRU Lampung bisa memiliki dampak luas di berbagai sisi. Pertama, tentu saja berdampak terhadap percepatan penyerapan gas domestik. Selain itu, ketidakmampuan tersebut juga memiliki imbas terhadap pembangkit listrik yang dikelola PLN, yang sebenarnya tergantung pasokan dari gas domestik. “Industri yang menggantungkan diri dari gas juga terpengaruh. Tidak adanya pasokan gas, akan membuat proses bisnis menjadi terhambat,” kata Komaidi.
Dalam kacamata Komaidi, sebenarnya cukup mudah melihat seberapa jauh ketidakmampuan PGN dalam mengelola FSRU. Cukup dengan membandingkan kontrak yang dibuat di awal, maka akan terang benderang semuanya. Karena di sana juga disebutkan, berapa komitmen PGN untuk menyerap gas domestik. “Apalagi dalam kontrak, tentu juga dibahas mengenai reward dan punishment. Di sana bisa diterapkan, sanksi yang bisa dikenakan,” katanya.
Sementara, Kementerian BUMN akan mengevaluasi PT PGN terkait FSRU Lampung yang mangkrak sejak 2014. Demikian disampaikan Menteri BUMN Rini Soemarno, seusai penandatanganan nota kesepahaman antara PT Pertamina dan PT Wijaya Karya, di Jakarta, kemarin. “Sedang dievaluasi. Semua akan dievaluasi,” kata Rini.
Untuk itu, Rini mengaku belum bisa berkomentar banyak tentang perkembangan kasus tersebut. Termasuk di antaranya, tentang kemungkinan pembentukan tim khusus untuk menangani masalah itu dan juga sanksi yang kemungkinan bisa dikenakan terhadap PGN. Apalagi, mengingat PGN adalah BUMN yang juga merupakan perusahaan terbuka, yang tidak seratus persen sahamnya dimiliki pemerintah. “Jangan lupa, PGN adalah perusahaan publik, sehingga harus juga dibicarakan dengan manajemennya,” lanjutnya.
Sebagaimana diketahui, kasus tersebut terungkap setelah karyawan menyampaikan surat kepada Menteri BUMN Rini Soemarno, 12 Maret 2015 lalu. Menindaklanjuti surat tersebut, Kantor Kementerian BUMN meminta Dewan Komisaris untuk membahas masalah tersebut.
Dalam surat tertanggal 25 Juni 2015 dan ditandatangani Dwijanto Tjhajaningsih, StafAhli Bidang Usaha Tata Kelola, Sinergi, dan Investasi itu, disebutkan, FSRU Lampung sejak akhir 2014 tidak berfungsi sama sekali lantaran tidak ada sumber energi gas dan pelanggan yang telah menandatangani kontrak. Namun di sisi lain, PGN tetap harus membayar biaya sewa sesuai dengan perjanjian kepada Konsorsium Hoegh dan rekin senilai US$150 ribu per hari. Selain itu, juga membayar sewa tag boat sebesar US$50 ribu per hari yang disediakan Limin dan Bayu Maritim.