Bisnis.com, JAKARTA – Sejalan dengan upaya penguatan desentralisasi fiskal, besaran local tax ratio – perbandingan penerimaan pajak dan retribusi daerah dengan produk domestik regional bruto – menjadi salah satu indikator pengalokasian dana insentif daerah tahun depan.
Dirjen Perimbangan Keuangan Kemenkeu Boediarso Teguh Widodo mengungkapkan local tax ratio menjadi salah satu indikator kesehatan fiskal dan pengelolaan keuangan daerah yang digunakan sebagai dasar pemberian alokasi dana insentif daerah (DID) hingga Rp70 miliar per wilayah tahun depan.
“Dulu belum ada indikator itu. Semua indikator dalam kriteria kesehatan fiskal mostly baru karena ini kan terobosan fiskal daerah yang mendasar, signifikan, dan agak radikal,” ujarnya.
Dia menjelaskan nantinya patokan penilaian dari local tax ratio akan mengikuti benchmark internasional dan sesuai dengan capaian tax ratio rerata nasional. Menurutnya, jika besaran local tax ratio suatu daerah lebih tinggi dari tax ratio rerata nasional, daerah akan mendapatkan nilai tinggi.
Sistem dan kriteria penilaian kinerja pemerintah daerah (pemda) sebagai dasar pengalokasian DID, sambungnya, memang mengalami perubahan mulai tahun depan. Langkah ini dilakukan bersamaan diperbesarnya anggaran pos DID dari Rp1,7 triliun tahun ini menjadi Rp5 triliun dalam RAPBN 2016.
Untuk memberikan penekanan alokasi anggaran sebagai insentif kabupaten/kota/provinsi, pos DID yang semula menjadi bagian dari dana transfer lainnya akan terpisah dan berdiri sendiri dalam klasifikasi dana transfer daerah.
Atas perubahan tersebut, Boediarso berujar penggunaan DID tidak akan lagi terikat hanya untuk mendanai fungsi pendidikan, tapi juga kegiatan lain yang menjadi kepentingan serta kewenangan daerah.
Local tax ratio, lanjut dia, merupakan satu dari 11 indikator kesehatan fiskal dan pengelolaan keuangan daerah yang memiliki keseluruhannya memiliki porsi penilaian 50% atas kriteria kinerja daerah. Beberapa indikator lainnya terkait besaran belanja, defisit, dan SILPA. Selain itu, ada pula kriteria pelayanan dasar publik serta ekonomi dan kesejahteraan yang masing-masing memiliki bobot 25%. (lihat data)
Kriteria kinerja daerah merupakan aspek penilaian tersebesar bagi pemerintah daerah. Dari kriteria tersebut, tuturnya, pemda bisa menerima DID maksimum hingga Rp70 miliar. Besaran ini melompat jauh dari titik tertinggi pemberian tahun ini Rp23 miliar.
Alokasi Minimum
Sementara itu, alokasi minimum yang bisa didapatkan pemda pun ikut naik dari Rp2 miliar menjadi Rp5 miliar tahun ini. Pemberian alokasi minimum itu, imbuhnya, dilakukan untuk pemda yang memenuhi kriteria utama, yakni memperoleh opini wajar tanpa pengecualian (WTP) dari Badan Pemeriksa Keuangan serta menetapkan Perda APBD tepat waktu.
Semula, pada 2015 dan tahun-tahun sebelumnya alokasi minimum senilai Rp2 miliar diberikan kepada daerah yang memperoleh opini WTP dari BPK dan menetapkan Perda APBD tepat waktu. Sedangkan alokasi minimum senilai Rp3 miliar diberikan kepada daerah yang memperoleh opini WTP dari BPK, menetapkan Perda APBD tepat waktu, dan menyampaikan LKPD kepada BPK tepat waktu.
“Kalau di-rating BB+ ada 198 daerah. Kalau kita turunkan rating-nya jadi BB- mungkin ada 400-an yang lulus provinsi dan kabupaten. Nanti akan ada PMK-nya [Peraturan Menteri Keuangan],” kata Boediarso.
Dimintai tanggapan, Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo menilai dimasukannyalocal tax ratio merupakan sebuah kemajuan kebijakan yang bagus untuk menjadi alat ukur yang lebih objektif dan adil. Langkah ini, sambungnya, akan membuat penggunaan APBN maupun APBD tepat sasaran.
Menurutnya, sejalan dengan redesign arsitektur fiskal, saat inilah menjadi momentum yang tepat untuk mengurangi dan membatasi pajak daerah dan melibatkan pemda untuk aktif berpartisipasi dalam pemungutan pajak pusat, misal PPh dan PPN.
“Jangan sampai kebijakan ini justru mendorong pemungutan pajak daerah yang agresif sehingga merugikan,” tegasnya.
Berikut Kriteria Kinerja Daerah Sebagai Basis Besaran Alokasi DID TA 2016
I. | Kriteria utama, yang terdiri atas | |
| 1 | Daerah yang mendapatkan opini WTP atau wajar dengan pengecualian (WDP) dari BPK atas LKPD nya; dan |
2 | Daerah yang menetapkan Perda APBD tepat waktu. | |
II. | Kriteria kinerja yang terdiri atas: | |
| 1 | Kesehatan Fiskal dan Pengelolaan Keuangan Daerah, meliputi 11 indikator, yaitu: |
| a. rasio pendapatan asli daerah terhadap total pendapatan daerah; | |
b.rasio realisasi pendapatan APBD terhadap target; | ||
c. rasio total pendapatan daerah dan penerimaan pembiayaan terhadap total belanja dan pengeluaran pembiayaan; | ||
d.rasio pertumbuhan pendapatan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah terhadap total pendapatan daerah; | ||
e. rasio pendapatan PDRD terhadap Produk Domestik Regional Bruto nonmigas; | ||
f. rasio belanja modal terhadap total belanja APBD; | ||
g. rasio belanja pegawai terhadap total belanja APBD; | ||
h.rasio realisasi belanja APBD terhadap pagu anggaran belanja APBD; | ||
i. rasio ruang skal daerah terhadap total pendapatan APBD; | ||
j. rasio Desit APBD terhadap total pendapatan APBD; dan | ||
k.rasio SILPA tahun sebelumnya terhadap total belanja APBD. | ||
2 | Pelayanan Dasar Publik, meliputi 3 indikator, yaitu: | |
| a. kinerja bidang pendidikan; | |
b.kinerja bidang kesehatan; dan | ||
c. kinerja bidang pekerjaan umum. | ||
3 | Ekonomi dan Kesejahteraan, meliputi 4 indikator, yaitu: | |
| a. tingkat pertumbuhan ekonomi; | |
b.penurunan tingkat kemiskinan; | ||
c. penurunan tingkat pengangguran; dan | ||
d.pengendalian tingkat inasi. | ||
Sumber: Nota Keuangan RAPBN 2016 |