Bisnis.com, JAKARTA—Upaya pemerintah untuk menutup impor daging jenis secondary cut ternyata menemui sejumlah hambatan. Selain dikeluhkan sejumlah importir dalam negeri, kini giliran Amerika Serikat dan Selandia Baru mengadukan republik ke organisasi perdagangan dunia (World Trade Organkzation/ WTO).
Direktur Jenderal (Dirjend) Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH) Kementerian Pertanian Syukur Iwantoro menyampaikan AS dan Selandia Baru mengadukan larangan impor secondary cut oleh pemerintah Indonesia karena dinilai merupakan bentuk restriksi dalam aktivitas perdagangan.
"Mereka [AS dan Selandia Baru] mengadukan upaya kita menutup impor secondary cut itu sebagai sebuah restriksi perdagangan," kata Syukur saat ditemui beberapa waktu lalu di Jakarta.
Berdasarkan catatan Syukur, sidang pengaduan pertama atas pengaduan tersebut dilaksanakan pada 22 April namun panel WTO tidak mengabulkan permohonan AS dan Selandia Baru. Adapun, sidang selanjutnya akan dilaksanakan pada Jumat (22/5) mendatang.
Merespons pengaduan tersebut, Syukur mengaku pemerintah tetap akan berkukuh menekan laju kmpor daging jenis secondary cut. Pasalnya, potensi produksi jenis dagaing tersebut di dalam negeri sangat melimpah.
"Di RPH-RPH [Rumah Potong Hewan] kita, itu semua menjadi tempat bergantung hidup peternak-peternak kita yang mereka mampu menghasilkan secondary cut seperti karkas. Nah kalau ini dilepas [dibuka impornya], ini nanti akan berdampak luas pada 6,4 juta kepala keluarga," jelas Syukur.
Sebagai informasi, seperti diterangkan dalam situs WTO, larangan impor secondary cut dan produk-produk hortikultura oleh pemerintah Indonesia dinilai telah melanggar kesepakatan GATT 1944 yang mengatur tentang kerjasama di bidang pertanian, kesepakatan prosedur untuk melisensi impor, serta kesepakatan inspeksi pre-shipment.
Atas pengaduan tersebut, AS dan Selandia Baru mengajukan beberapa panel sidang untuk membahas kemungkinan Indonesia menarik larangan impor secondary cut.
Seperti diketahui, Kementerian Pertanian per awal tahun ini telah melarang impor secondary cut dari seluruh negara, melalui pengesahan Permentan Nomor 2 Tahun 2015 tentang perubahan atas Permentan Nomor 139 Tahun 2014 tentang pemasukan karkas, daging, dan jeroan dalam negeri.
Adapun, beleid tersebut masih mengizinkan impor prime cut seperti tenderloin dan wagyu dalam bentuk sapi per ekor.
Permentan tersebut mengacu pada kesepakatan antara Kementerian Pertanian dan Kementerian Pedagangan yang tercantum dalam UU. 41 tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan yang telah disahkan akhir tahun lalu.
Berdasarkan data yang diperoleh Bisnis dari Kedutaan Besar Selandia Baru di Jakarta, pascapenetapan larangan tersebut, impor secondary cut dari negara itu ke Indonesia anjlok drastis.
Kedubes Selandia Baru mencatat pada bulan pertama tahun ini negara itu hanya mengimpor 28 ton daging, jauh dari 4152 ton yang diimpor pada bulan pertama tahun 2010.
"Restriksi pemerintah yang tertuang pada Permentan Nomor 39/2014 dan Permentan 2/2015 tentang pembatasan impor secondary cut itu menyulitkan dan mengikis kepercayaan diri pelaku usaha kami untuk memasukkan produknya ke Indonesia," kata Mike Petersen, Special Agriculture Trade Envoy Selandia Baru pada Bisnis saat berkunjung ke Jakarta akhir pekan lalu.
Menyambut sidang kedua WTO yang dilaksanakan 22 Mei, Kementan mengaku optimistis dapat mempertahankan regulasi pembatasan impor secondary cut tersebut.
"Kita akan datang bersama perwakilan dari Kementerian Perdagangan dan Kementerian Luar Negeri. Tim kita kuat. Dulu saat kita batasi impor dari Australia, mereka juga katakan banyak peternak mereka yg collapsed. Kalau kita buka impor ini, peternak kita juga mengalami hal sama," jelas Syukur.