Bisnis.com, JAKARTA - Alih-alih menunjukkan pertumbuhan, realisasi penerimaan kepabeanan dan cukai per akhir April senilai Rp46 triliun justru terkontraksi 13,2% dari capaian periode yang sama tahun lalu Rp53 triliun.
Capaian itu sekaligus mencatatkan 23,6% dari target APBNP 2015 Rp195 triliun.
Direktur Penerimaan, Peraturan Kepabeanan dan Cukai (PPKC) Ditjen Bea dan Cukai (DJBC), Heru Pambudi mengaku performa ini merupakan imbas dari perlambatan ekonomi secara global termasuk di Indonesia.
“Secara umum bea keluar (BK) yang sangat jauh dari target karena kan memang itu faktor eksternalnya sangat dominan,” ujarnya kepada Bisnis.com,Minggu (10/5).
Dalam laporan DJBC, hingga akhir April tahun ini pos BK hanya menyumbang Rp1 triliun atau anjlok sekitar 78,3% dari realisasi tahun lalu Rp4,6 triliun.
Menurutnya, harga crude palm oil (CPO) yang masih rendah menyebabkan pos BK ikut anjlok. Seperti diketahui, jika harga CPO di bawah US$750 per Metrik Ton (MT), bea keluar dikenakan 0%.
Selain itu, batasan kuota ekspor mineral mentah khususnya untuk PT Newmont Nusa Tenggara dan PT Newmont Nusa Tenggara juga turut berpengaruh.
Sementara, untuk pos bea masuk, tren perlambatan ekonomi dinilai menjadi pemicunya.
Menurut Heru, ada penurunan konsumsi impor sehingga devisa impor per Maret 2015 sudah mengalami penurunan hingga 17% (year on year).
Di samping itu, pos cukai yang selama ini menjadi andalan pemerintah untuk mengakselerasi penerimaan juga anjlok. Konsumsi rokok yang selama ini dinilai inelastik terhadap pertumbuhan ekonomi pun ternyata ikut merosot.