Bisnis.com, JAKARTA - Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan meminta tindakan tegas terhadap kasus pencurian ikan oleh Kapal MV Hai Fa kepada penegak hukum dengan mengesampingkan egosektoral antarlembaga yang berkaitan.
Marthin Hadiwinata, Deputi Bidang Advokasi Hukum dan Kebijakan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) mengatakan, Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Tinggi Maluku hanya mengancam nakhoda dan ABK kapal berbendera Panama tersebut dengan pidana penjara selama 1 tahun atau denda maksimal sebesar Rp250 juta.
Tuntutan ringan yang diajukan itu hanya didasarkan pada Pasal 100 jo. Pasal 7 ayat (2) huruf m UU No. 31/2004 sebagaimana telah diubah menjadi UU No. 45/2009 tentang Perikanan, kewajiban mematuhi ketentuan jenis ikan yang dilarang untuk diperdagangkan, dimasukkan, dan dikeluarkan ke dan dari wilayah Negara Republik Indonesia.
"Tuntutan tergolong ringan dan mengenyampingkan ketetuntuan UU Perikanan. Sebab lainnya juga karena ego sektoral antara Kementerian Kelautan dan Perikanan dengan Kejaksaan," katanya dalam keterangan tertulisnya, Kamis (26/3/2015).
Berdasarkan data KKP, sebanyak 900,702 ton ikan berhasil dicuri Kapal MV Hai Fa. Total tersebut terdiri dari 800,658 ton ikan beku, 100,44 ton udang beku, serta 66 ton ikan Hiu Martil dan Hiu Koboi yang dilindungi dan dilarang untuk ditangkap dan diekspor ke luar negeri. Kerugian negara yang ditimbulkan mencapai Rp70 miliar dengan penghitungan telah tujuh kali melakukan penangkapan ikan sejak 2014.
Atas fakta tersebut, tidak hanya melanggar Pasal 100 jo. Pasal 7 ayat (2) huruf m UU No. 31/2004, Marthin juga menilai juga terjadi pelanggaran Pasal 29 ayat (1) UU Perikanan yang hanya membolehkan warga negara Republik Indonesia atau badan hukum Indonesia dalam melakukan usaha perikanan di wilayah indonesia. Hanya kapal berbendera Indonesia yang diperbolehkan untuk menangkap ikan di zona perairan territorial dan kepulauan.
Selain itu, Kapal MV Hai Fa juga melakukan pelanggaran penggunaan nakhoda asing dari china yang bernama Zhu Nian Lee dan tanpa ada ABK asal Indonesia Indonesia sebagaimana ditegaskan Pasal 35 ayat (1) UU Perikanan. Kapal ini juga diduga telah melanggar ketentuan sistem pengawasan kapal (vessel monitoring system) dan tidak memiliki Surat Layak Operasi (SLO).
Kemudian, juga melanggaran Pasal 21 ayat (2) UU No. 5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Dan Ekosistemnya karena adanya penangkapan ikan hiu martil dan hiu koboi. Terhadap kejahatan ini, Pasal 40 ayat (2) UU Konservasi SDA Hayati dan Ekosistemnya mengancam lebih berat dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda Rp100.000.000.
Tak hanya itu, juga terjadi pelanggaran serius terhadap kedaulatan negara sebagaimana diatur di dalam Konvensi Hukum Laut Internasional PBB yang telah diratifikasi melalui UU No. 17/1985.
"Kami meminta agar penuntutan terhadap pelaku pencurian ikan dengan tidak hanya berdasarkan pelanggaran administratif, tetapi mendasarkan pada tindak pidananya dan dilanjutkan sampai ke perusahaan di balik kapal tersebut," papar Marthin.
Tak sampai di situ, Kiara juga melihat masih adanya masalah klasik yakni hubungan antaralembaga negara merupakan persoalan akut yang tidak akan dapat terselesaikan karena adanya kepentingan masing-masing lembaga.
Padahal pemerintah sudah pernah mengeluarkan Permen KP No. PER.13/MEN/2005 tentang Forum Koordinasi Tindak Pidana Perikanan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Permen KP No. PER.18/MEN/2011.
"Evaluasi hubungan kelembagaan antara Kementerian Kelautan dan Perikanan dengan aparat penegak hukum juga penting guna memperbaiki maslah koordinasi dan komunikasi sehingga pemberantasan pencurian ikan dapat sinergis dan berkeadilan," tuturnya.