Bisnis.com, BANDUNG -- Asesor Kopi Luwak Nasional menyebutkan saat ini baru 20% petani kopi luwak yang memperoleh sertifikasi karena telah memenuhi standar kompetensi kerja nasional Indonesia (SKKNI) tentang pengolahan kopi luwak.
Asesor Kopi Luwak Nasional Supriatna Dinuri menilai bisnis kopi luwak masih tetap menjanjikan dengan catatan petani yang bersangkutan haruslah memenuhi syarat legal formal agar mendapatkan trust dari konsumennya.
Namun, kendala petani untuk mendapatkan sertifikasi saat ini masih terbilang sulit.
"Ada 24 kriteria unjuk kerja yang menjadi penilai untuk seorang petani mendapatkan sertifikat kopi luwak diantaranya cara memperlakukan luwak hingga kebersihan kandang luwak itu sendiri," katanya kepada Bisnis, Senin (16/3/2015).
Minimnya, jumlah petani yang mengantongi sertifikat kopi luwak disebabkan dalam sekali ujian kompetensi tidak lebih dari 20% peserta yang dianggap memenuhi standar kualifikasi.
Hal ini menandakan mayoritas petani kopi luwak masih memerlukan pemahaman komprehensif agar produknya bisa diterima pasar. Dengan kata lain, kemampuan cara mengolah kopi luwak menjadi tugas pemerintah untuk meningkatkan pemahamannya.
Menurut dia, bagi mereka yang tidak lulus kompetensi, mereka akan sulit mendapatkan kepercayaan dari pasar. Ketika tidak mendapatkan kepercayaan dari pasar secara otomatis usaha kopi luwak yang dijalankannya tidak akan berhasil.
Saat disinggung mengenai kuantitas produksi kopi luwak di Kab Bandung, disebutkannya, apabila dalam tidak musim panen kopi, maka kopi luwak yang dihasilkan maksimal sebanyak 300 kg per bulannya.
"Kalau lagi musim panen bisa mencapai 700 kg setiap bulannya. Musim panen kopi itu biasanya terjadi sejak April hingga Agustus," ujarnya.
Masyarakat Perlindungan Luwak Indonesia (MPLI) mendesak pemerintah melakukan sosialisasi produk kopi luwak sebagai komoditas unggulan asli Indonesia menyusul akan diterbitkannya pedoman pengembangan kopi luwak.
Ketua MPLI Iyus Supriatna mengatakan selama ini kampanye animal walfare yang digencarkan di dunia cukup mengganggu pemasaran kopi luwak dari Indonesia.
Menurutnya, seiring berjalannya pemerintah yang akan menyusun pedoman pengembangan kopi luwak maka harus dibarengi dengan sosialisasi ke tingkat dunia.
Hal itu dilakukan agar kepercayaan negara di dunia untuk mengkonsumsi kopi luwak dari Indonesia dinilai aman.
“Memang penting regulasi itu diterbitkan untuk mem-back up isu penyiksaan luwak atau animal welfare. Akan tetapi, hal itu juga harus diiringi dengan sosialisasi ke tingkat internasional,” katanya.
Produsen kopi luwak saat ini masih fokus menggarap pasar ekspor lantaran dipicu harga yang cukup tinggi.
Ketua Asosiasi Kopi Luwak Indonesia (AKLI) Edi Panggabean mengatakan pelaku usaha lebih tertarik pasar luar negeri karena harga jual kopi luwak mencapai Rp20 juta per kilogram. Sementara di pasar domestik masih di kisaran Rp3 juta-Rp5 juta per kilogra.
“Jika satu gram dibuat dengan 10 gram, artinya satu kilogram kopi luwak sudah tembus Rp8 juta, bahkan Rp20 juta,” katanya.
Dia menjelaskan agar pelaku usaha dapat mengandalkan produksi luwak untuk pasar domestik maka pemerintah harus memberikan insentif lebih.
Kendati demikian, pasar domestik saat ini cukup bergairah dengan pasar kopi luwak.
Dia mencontohkan misalnya produksi kopi luwak di Lembang Jabar saat ini terus digenjot untuk pasar domestik.
“Dengan harga per kilogram yang tinggi sudah cukup bagus untuk pasar domestik. Namun, pola pikir yang sering menyebutkan bukan kopi luwak jika tidak mahal itu yang akhirnya membuat pelaku usaha enggan melirik pasar lokal,” ujarnya
Dia juga menjelaskan saat ini produksi kopi luwak di Indonesia baik arabika dan robusta sedang dalam musim penghujung.
Dia mengatakan untuk di beberapa tempat saat ini produksi masih belum memasuki musim panen raya dan baru akan berproduktivitas tinggi pada September atau Oktober nanti.
“Kopi luwak ini sedang tidak musim karena memang bahan bakunya sendiri juga tidak dalam masa produktivitas. Seperti arabika dari Sumatra, rasanya saat ini sedang masuk masa panen akhir atau sisa dan begitu pula robusta yang sudah habis masa panen rayanya,” katanya.
Menurutnya untuk kopi luwak arabika, saat ini terdapat tiga musim panen yaitu panen perdana, panen, besar dan panen akhir. Sementara untuk kopi robusta menurutnya beberapa juga panen pada musim-musim tersebut.
Edi mengungkapkan pasar kopi luwak merupakan pasar yang gelap sehingga tidak ada pelaku yang pernah mengungkapkan berapa besar jumlah produksi mereka setiap tahun.
“Kopi luwak ini pasar gelap, tidak ada yang pernah menceritakan berapa produksi mereka setiap tahun karena takut bersaing. Tapi perkiraan saya setiap tahunnya kurang lebih mencapai 120 ton,” ujarnya.
Asesor Kopi Luwak Nasional Supriatna Dinuri menilai bisnis kopi luwak masih tetap menjanjikan dengan catatan petani yang bersangkutan haruslah memenuhi syarat legal formal agar mendapatkan trust dari konsumennya.
Namun, kendala petani untuk mendapatkan sertifikasi saat ini masih terbilang sulit.
"Ada 24 kriteria unjuk kerja yang menjadi penilai untuk seorang petani mendapatkan sertifikat kopi luwak diantaranya cara memperlakukan luwak hingga kebersihan kandang luwak itu sendiri," katanya kepada Bisnis, Senin (16/3/2015).
Minimnya, jumlah petani yang mengantongi sertifikat kopi luwak disebabkan dalam sekali ujian kompetensi tidak lebih dari 20% peserta yang dianggap memenuhi standar kualifikasi.
Hal ini menandakan mayoritas petani kopi luwak masih memerlukan pemahaman komprehensif agar produknya bisa diterima pasar. Dengan kata lain, kemampuan cara mengolah kopi luwak menjadi tugas pemerintah untuk meningkatkan pemahamannya.
Menurut dia, bagi mereka yang tidak lulus kompetensi, mereka akan sulit mendapatkan kepercayaan dari pasar. Ketika tidak mendapatkan kepercayaan dari pasar secara otomatis usaha kopi luwak yang dijalankannya tidak akan berhasil.
Saat disinggung mengenai kuantitas produksi kopi luwak di Kab Bandung, disebutkannya, apabila dalam tidak musim panen kopi, maka kopi luwak yang dihasilkan maksimal sebanyak 300 kg per bulannya.
"Kalau lagi musim panen bisa mencapai 700 kg setiap bulannya. Musim panen kopi itu biasanya terjadi sejak April hingga Agustus," ujarnya.
Masyarakat Perlindungan Luwak Indonesia (MPLI) mendesak pemerintah melakukan sosialisasi produk kopi luwak sebagai komoditas unggulan asli Indonesia menyusul akan diterbitkannya pedoman pengembangan kopi luwak.
Ketua MPLI Iyus Supriatna mengatakan selama ini kampanye animal walfare yang digencarkan di dunia cukup mengganggu pemasaran kopi luwak dari Indonesia.
Menurutnya, seiring berjalannya pemerintah yang akan menyusun pedoman pengembangan kopi luwak maka harus dibarengi dengan sosialisasi ke tingkat dunia.
Hal itu dilakukan agar kepercayaan negara di dunia untuk mengkonsumsi kopi luwak dari Indonesia dinilai aman.
“Memang penting regulasi itu diterbitkan untuk mem-back up isu penyiksaan luwak atau animal welfare. Akan tetapi, hal itu juga harus diiringi dengan sosialisasi ke tingkat internasional,” katanya.
Produsen kopi luwak saat ini masih fokus menggarap pasar ekspor lantaran dipicu harga yang cukup tinggi.
Ketua Asosiasi Kopi Luwak Indonesia (AKLI) Edi Panggabean mengatakan pelaku usaha lebih tertarik pasar luar negeri karena harga jual kopi luwak mencapai Rp20 juta per kilogram. Sementara di pasar domestik masih di kisaran Rp3 juta-Rp5 juta per kilogra.
“Jika satu gram dibuat dengan 10 gram, artinya satu kilogram kopi luwak sudah tembus Rp8 juta, bahkan Rp20 juta,” katanya.
Dia menjelaskan agar pelaku usaha dapat mengandalkan produksi luwak untuk pasar domestik maka pemerintah harus memberikan insentif lebih.
Kendati demikian, pasar domestik saat ini cukup bergairah dengan pasar kopi luwak.
Dia mencontohkan misalnya produksi kopi luwak di Lembang Jabar saat ini terus digenjot untuk pasar domestik.
“Dengan harga per kilogram yang tinggi sudah cukup bagus untuk pasar domestik. Namun, pola pikir yang sering menyebutkan bukan kopi luwak jika tidak mahal itu yang akhirnya membuat pelaku usaha enggan melirik pasar lokal,” ujarnya
Dia juga menjelaskan saat ini produksi kopi luwak di Indonesia baik arabika dan robusta sedang dalam musim penghujung.
Dia mengatakan untuk di beberapa tempat saat ini produksi masih belum memasuki musim panen raya dan baru akan berproduktivitas tinggi pada September atau Oktober nanti.
“Kopi luwak ini sedang tidak musim karena memang bahan bakunya sendiri juga tidak dalam masa produktivitas. Seperti arabika dari Sumatra, rasanya saat ini sedang masuk masa panen akhir atau sisa dan begitu pula robusta yang sudah habis masa panen rayanya,” katanya.
Menurutnya untuk kopi luwak arabika, saat ini terdapat tiga musim panen yaitu panen perdana, panen, besar dan panen akhir. Sementara untuk kopi robusta menurutnya beberapa juga panen pada musim-musim tersebut.
Edi mengungkapkan pasar kopi luwak merupakan pasar yang gelap sehingga tidak ada pelaku yang pernah mengungkapkan berapa besar jumlah produksi mereka setiap tahun.
“Kopi luwak ini pasar gelap, tidak ada yang pernah menceritakan berapa produksi mereka setiap tahun karena takut bersaing. Tapi perkiraan saya setiap tahunnya kurang lebih mencapai 120 ton,” ujarnya.