Bisnis.com, JAKARTA— Walau optimistis mencapai target penerimaan pajak tahun ini, Dirjen Pajak Sigit Priadi Pramudito harus waspada karena pertumbuhan realisasi penerimaan pajak 2014 jauh dari pertumbuhan alamiah, sehingga capaian tax buoyancy—elastisitas penerimaan pajak terhadap pertumbuhan domestik bruto (PDB)— tahun lalu kian melempem.
Berdasarkan perhitungan atas data realisasi pajak (minus PPh migas) sepanjang 2014 senilai Rp895 triliun maka pertumbuhan penerimaan pajak tahun lalu hanya mencapai sekitar 7% dari realisasi tahun sebelumnya Rp833 triliun.
Realisasi itu jauh dari pertumbuhan alami penerimaan pajak yang didapat dari penjumlahan tingkat inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Inflasi berkaitan langsung dengan harga barang dan jasa sehingga berpengaruh pada Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
Sementara itu, pertumbuhan ekonomi berkaitan langsung dengan laba sehingga berpengaruh pada pajak penghasilan (PPh).
Capaian tingkat inflasi 2014 berada di level 8,36% melesat jauh dari target APBNP 2014 5,3% karena pengaruh kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi pertengahan November 2014. Untuk pertumbuhan ekonomi – dengan proyeksi sementara – berada di level 5,1%.
Karena adanya pengaruh kenaikan harga BBM bersubsidi, inflasi tidak bisa dijadikan patokan pertumbuhan alamiah. Namun, dengan menggunakan realisasi inflasi Januari-Oktober 2014 – tidak ada faktor kenaikan harga BBM – yang mencapai 4,19% saja, pertumbuhan alamiah pajak sebenarnya lebih dari 9%.
Melihat realiasi pertumbuhan pajak itu, maka kinerja tax buoyancy pada 2014 hanya mencapai 1,4% atau turun dari kinerja tahun sebelumnya 1,9%. Capaian itu juga melanjutkan tren penurunan kinerja tax buoyancy mengalami tren menurun sejak 2012.
Pakar perpajakan dari Universitas Indonesia Darussalam mengatakan seharusnya setiap kenaikan 1% pertumbuhan ekonomi, ada pertumbuhan penerimaan pajak 1,5%-2%. Namun, dia mengungkapkan walaupun tidak ideal – secara alamiah – , pertumbuhan pajak di atas pertumbuhan ekonomi sudah dikategorikan bagus.
Dia mengimbau pemerintah agar mulai melihat potensi penerimaan per sektor. Sektor-sektor penopang pertumbuhan ekonomi mulai dari transportasi, komunikasi, properti, listrik, hingga keuangan bisa menjadi acuan pengukuran potensi penerimaan pajak.
“Harus dilihat masing-masing sektor. Misalnya pertumbuhan di tranportasi dan komunikasi tinggim tapi pertumbuhan pajak dan tax buoyancy rendah, berarti ini ada masalah di sektor itu,” ujarnya.
Namun, dia mengkhawatirkan jika sektor informal lah yang justru menyumbang besar penerimaan pajak. Artinya, DJP harus memperkuat pengawasan sektor informal karena selama ini sistem pajak belum bisa menanganinya.
Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo menilai penurunan tax buoyancy menandakan kapasitas DJP dalam memungut pajak makin rendah. “Ini jadi tantangan bagi Jokowi untuk menjawabnya melalui penguatan kewenangan lewat Perpres yang sedang dibuat.”
Seperti diketahui Dirjen Pajak dipastikan bakal memimpin lembaga dengan fleksibilitas dan kewenangan yang lebih luas yang disebut DJP 'Plus.'
Yustinus juga mengungkapkan langkah itu memang tidak menjamin adanya peningkatan penerimaan dan tingkat tax buoyancy. Namun, dia menilai langkah itu merupakan langkah maju meski harus dipandang sebagai transisi.
“Artinya Presiden Jokowi dalam waktu bersamaan harus tetap menyiapkan pembentukan badan penerimaan negara, baik aspek yuridis, lembaga, maupun SDM. Pembentukan badan makin penting karena bukan saja menjadikan lebih otonom, tapi juga profesional dan komprehensif.” []