Bisnis.com, JAKARTA-- Seiring dengan gencarnya penegakan hukum lewat tindakan paksa badan (gijzeling) dan tingginya target penerimaan pajak, Ditjen Pajak (DJP) justru memakai stategi pelonggaran ketentuan hukum lewat penghilangan sanksi bunga utang pajak 2% per bulan hingga akhir tahun ini.
Kebijakan itu tertuang Peraturan Menteri Keuangan No. 29/PMK.03/2015 terkait penghapusan sanksi administrasi bunga yang terbit berdasarkan pasal 19 Ayat (1) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), yang diteken Menkeu 13 Februari lalu, tapi baru dipublikasikan Jumat (27/2/2015).
Wajib pajak yang melunasi utang pajak sebelum tanggal 1 Januari 2016 diberikan penghapusan sanksi administrasi, bunyi salah satu beleid yang ada dalam PMK tersebut.
Aturan pengurangan hingga penghapusan sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan yang terutang memang bisa dilakukan oleh Dirjen Pajak dan diatur lewat Peraturan Pemerintah (PP) No. 74/2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan.
Dalam UU KUP, apabila pada saat jatuh tempo pelunasan, WP tidak atau kurang bayar, pemerintah mengenakan sanksi administrasi berupa bunga 2% per bulan untuk seluruh masa terhadap besaran utang yang belum dibayar. Hitungan dimulai pada saat jatuh tempo sampai dengan pelunasan utang.
Artinya, dengan keluarnya PMK tersebut, beleid itu dengan sendirinya gugur hingga 1 Januari 2016. Namun utang pajak yang dibebaskan sanksi administrasinya hanya utang yang muncul sebelum 1 Januari 2015.
Keterangan Resmi
Belum ada keterangan resmi dari pihak Kemenkeu apalagi DJP terkait pertimbangan keluarnya aturan tersebut. Plt Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Suahasil Nazara pun saat ditemui Bisnis Kamis (26/2/2015), mengaku belum bisa berkomentar banyak.
Namun, dalam catatan Bisnis, aturan ini sesuai dengan rencana yang akan diambil Sigit Priadi Pramudito sejak terpilih menjadi Dirjen Pajak. Sigit mengatakan salah satu kebijakan yang akan dilakukan yakni penghapusan sanksi bagi WP tidak patuh saat ini. Menurutnya penghapusan sanksi itu digunakan untuk menuntut kepatuhan WP.
Makanya sebelum diperiksa, jujur deh. Nanti saya akan gunakan otoritas saya untuk menghapus sanksi tapi setelah itu harus patuh. Kalau masih bandel, denda atau sanksinya saya perbesar, ujarnya belum lama ini.
Sayangnya, Sigit tidak menjelaskan lebih lanjut seberapa besar potensi penerimaan yang dapat diterima. Seperti diketahui, penghapusan denda bunga itu pada akhirnya membuat pemerintah kehilangan sebagian potensi penerimaan.
Seperti diketahui, target penerimaan pajak (minus PPh migas) tahun ini Rp1.244,7 triliun atau naik 38,69% dari realisasi tahun lalu Rp897,5 yang mencatatkan rekor shortfall selisih realisasi dan target tertinggi Rp94 triliun.
Dimintai tanggapan, Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo mengatakan langkah ini memang bisa digunakan DJP untuk menggenjot penerimaan pajak karena penerimaan dari sanksi administrasi sebenarnya tidak terlalu besar.
Jadi jika dioptimalkan setahun ini bisa dicicil dan di akhir tahun lunas, akan win win solution. Selama ini penerimaan dari sanksi penagihan juga tidak besar. Kalau [utang] pokok bisa masuk saya kira optimal, ujarnya.
Menurutnya, walau penerimaan dari sanksi itu sedikit, bunga penagihan selama ini cukup memberatkan WP karena tidak adanya batasan waktu. Kondisi ini, sambungnya, berpotensi pembayaran besaran bunga justru melebih utang pokoknya.
Prastowo mengungkapkan regulasi itu cukup menarik WP, apalagi DJP saat ini juga tengah gencar menghidupkan kembali tindakan paksa badan. Apalagi tahun ini DJP menargetkan Rp22,5 triliun lewat strategi law enforcement dengan penagihan aktif, pemeriksaan bukti permulaan dan penyidikan baik faktur fiktif maupun nonfiktif.