Bisnis.com, JAKARTA – Penundaan pemberlakukan Peraturan Dirjen Pajak No.Per-01/PJ/2015 yang mewajibkan bank melaporkan daftar serta bukti potong pajak giro maupun deposito secara rinci dikarenakan belum siapnya internal Ditjen Pajak (DJP).
Kendati muncul protes keras dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan pelaku usaha di industri perbankan terkait ancaman kerahasiaan data nasabah, Dirjen Pajak Sigit Priadi Pramudito justru menegaskan penundaan penerapaan kebijakan itu lebih dikarenakan permasalahan sistem dan SDM DJP.
“Ya ditunda. Sistem DJP belum siap. Hal ini rawa terhadap penyalahgunaan,” ujarnya singkat kepada Bisnis.com, Minggu (22/2/2015).
Dengan skema itu, nantinya di tiap kanwil pajak akan banyak bukti potong nasabah bank yang harus di-digitalize atau dimasukkan ke sistem informasi DJP. Pihaknya mengakui jumlah pegawai DJP yang ada saat ini belum cukup untuk menangani urusan tersebut.
Jika kebijakan yang diterbitkan pada 26 Januari ini tetap diberlakukan sesuai Perdirjen – untuk pelaporan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan sejak Masa Pajak Maret 2015 – dikhawatirkan mengakibatkan bukti-bukti potong tersebut menumpuk di kantor-kantor pajak karena tidak tertangani. Kondisi ini pada gilirannya rawan terhadap penyalahgunaan.
Sigit bahkan tidak menggubris kekhawatiran beberapa OJK dan pelaku usaha industri perbankan terkait potensi ancaman kerahasiaan data nasabah.
“Kerahasiaan bank itu akhirnya memang harus dihapus. Hal ini sejalan dengan kesepakan G20 yang akan menghapus kerahasiaan bank paling lambat tahun 2018,” ujarnya.
Sayangnya, Sigit tidak menjelaskan detil hingga kapan aturan itu ditunda penerapannya. Padahal, seperti diberitakan sebelumnya, (Bisnis, 18/2), Deputi Komisioner OJK Mulya E Siregar beleid tersebut tidak boleh melanggar rahasia nasabah yang dilindungi Undang-Undang Perbankan.
Dia menuturkan, jika bank wajib melaporkan bukti potong pajak giro atau deposito, simpanan nasabah bisa diketahui secara tidak langsung. Padahal, jumlah simpanan nasabah dan keterangan nasabah merupakan objek rahasia yang wajib dilindungi perbankan. Hal ini diatur dalam pasal 40 UU No. 10/1998 tentang Perubahan atas UU No.7/1992 tentang Perbankan.
“Kalau data diminta secara langsung, jelas tidak boleh kecuali ada permasalahan pengemplangan pajak,” katanya