Bisnis.com, JAKARTA - Akumulasi pertumbuhan utang yang cepat di wilayah Asia dalam beberapa tahun terakhir telah membuat bank sentral menahan diri untuk mengeluarkan kebijakan moneter yang longgar untuk memerangi risiko inflasi.
"Kondisi itu disebutkan membahayakan investasi swasta yang diperlukan untuk mendorong pertumbuhan yang tengah lesu," kata laporan Morgan Stanley sebagaimana dikutip Bloomberg, Rabu (14/1/2015).
Rasio utang terhadap produk domestik bruto di kawasan Asia, kecuali Jepang, naik 203% selama 2013 dari 147% pada 2007.
Menurut sejumlah analis, peningkatan itu disumbang oleh sejumlah perusahaan. Rasio itu telah melewati angka 200% pada tujuh dari sepuluh negara termasuk China dan Korea Selatan.
Risiko deflasi menyebar mulai dari Eropa hingga Asia pada saat harga minyak mentah dunia anjlok. Kondisi itu meningkatkan jumlah perusahaan dan konsumen untuk menunda berbelanja dan mengancam pemulihan ekonomi global.
Asia bisa belajar dari AS yang mengeluarkan kebijakan menjaga tingkat bunga riil rendah setelah krisis keuangan global 2008-2009 guna mendorong investasi sektor swasta. Dengan demikian, pertumbuhan produksi akan terdorong, menurut sejumlah analis.
“Ketika tingkat bunga riil tinggi, hanya sektor publik atau perusahaan yang terkait pemerintah yang akan berkembang baik,” kata para ekonom Morgan Stanley dalam laporannya.