Bisnis.com, JAKARTA - Pemerintah diminta memperhatikan waktu yang tepat untuk mengeksekusi wacana usulan pengenaan bea keluar (BK) komoditi batu bara sebagai upaya pengoptimalan potensi penerimaan pendapatan negara.
Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Didie W. Soewondho mengatakan pilihan pengenaan BK batu bara bisa dipahami agar ada penambahan objek yang memberikan penerimaan negara, apalagi Presiden Joko Widodo mematok target yang cukup tinggi.
"Hanya saja tolong diperhatikan besaran dan timing-nya," katanya ketika dihubungi Bisnis.com, Jumat (12/12/2014).
Didie melihat dari sisi pemerintah pengenaan bea keluar saat ini memang dapat dimengerti karena mampu menambah penerimaan BK yang kiat menciut setelah harga CPO di pasar global mengalami tren penurunan.
Sebelumnya, Direktur Penerimaan, Peraturan Kepabeanan dan Cukai DJBC Susiwijono Moegiarso mengatakan hasil hitungannya - dengan rate BK disamakan mineral olahan, eksekusi usulan BK pada batu bara akan mampu meningkatkan penerimaan hingga Rp22 trilun tahun depan.
Hitungan itu didapatkan dengan menilik data ekspor batu bara pada 2012 sekitar 347 juta ton dengan nilai US$24,3 miliar. Pada 2013, ekspor sekitar 381 juta ton dengan nilai US$22,7 miliar. Dengan rate BK 7,5%, disamakan dengan produk mineral hasil pengelohan yang membangun smelter sesuai PMK 153/PMK.011/2014 penerimaan akan terdongkrak. (Bisnis, 11/12/2014).
Bahkan, Dirjen DJBC Agung Kuswandono mengatakan tahun ini realisasi BK diproyeksikan hanya mencapai 57% dari APBNP 2014 atau sekitar Rp11,7 triliun. Penurunan penerimaan BK tahun ini selain karena telatnya ekspor mineral mentah, juga imbas dari penurunan harga CPO yang masih di bawah US$750 per Metrik Ton (MT) sehingga membuat BK 0%.
Didie mengungkapkan eksekusi langkah pengenaan BK harus juga diikuti pemanfaatan batu bara di dalam negeri. Dia mencontohkan adanya insentif untuk mulut tambang dalam pembangunan powerplan 35.000 MW.
Selain itu, diperlukan adanya penciptaan nilai tambah dari batu bara, sehingga tidak hanya diekspor. Menurutnya, Indonesia harus mulai meniru beberapa negara seperti China dan India yang tidak serta merta mengekspor cadangan batu baranya. Langkah tersebut dipilih untuk penjagaan national resources mereka.
Namun, jika dilihat dari sisi pengusaha, langkah pengenaan bea keluar saat ini tidak tepat karena margin laba yang diterima semakin menciut akibat penurunan harga di pasar global.
Pada gilirannya, pengusaha terkena imbas pada pembayaran pinjaman perbankan yang semakin berat. Oleh karena itu, sambungnya, harus bisa dikoordinasikan terlebih dahulu dengan pengusaha.
Ketua Umum Kadin Indonesia Suryo Bambang Sulisto menilai jika wacana tersebut dieksekusi di saat harga batu bara yang juga sedang melemah membuat para pengusaha akan terpukul. Apalagi, saat ini banyak pengusaha batu bara yang gulung tikar.
"Kalau menurut saya timing-nya wrong. Inilah masalahnya kadang-kadang kalau mau bikin kebijakan itu sebaiknya minta masukan juga dari Kadin dulu," kata dia.
Menurutnya, saat ini yang diperlukan pemerintah bukan mengenakan BK pada bahan bakar fosil tersebut karena akan semakin mengurangi daya saing ekspor Indonesia. Langkah yang lebih penting, sambungnya, menindak mafia batu bara yang tidak membayar pajak atau bermain dalam pembayaran pajak.