Bisnis.com, BOGOR - Kalangan petani organik membutuhkan perhatian teknologi dan strategi ramah lingkungan guna menghasilkan panen dengan jumlah dan kualitas maksimal.
Sekjen Aliansi Petani Indonesia Muhammad Nuruddin mengatakan setiap kali musim panen, pihaknya mengaku kehilangan sekitar 60% kuantitas produk organik garapan petani.
Adapun, produk sayur mayur dan tanaman pangan merupakan komoditas yang paling banyak menyusut dari segi kuantitas setiap kali panen pertanian organik tiba.
"Kami butuh pencerahan dari pemerintah dan para ahli terkait bagaimana skema memaksimalkan produk pertanian organik," katanya kepada Bisnis.com di Bogor, Jumat (14/11/2014).
Pertanian organik, katanya, digarap tanpa penggunaan bahan kimia baik pupuk, pestisida atau perawatan lainnya. Pertanian organik lebih mengedepankan penggunaan bahan pupuk alami sehingga perawatannya memerlukan waktu cukup lama.
Menurutnya, faktor kedaluarsa produk pertanian organik yang lebih cepat menjadi salah satu dampak penyusutan tersebut.
Nuruddin memberi contoh, komoditas sayuran sekitar 10 ton per hektare hanya bisa dijual ke pasaran sekitar 4 ton, lantaran terjadinya penyusutan mulai dari panen hingga packaging.
Dengan demikian, nilai tambah dari petani organik selama ini hanya memanfaatkan pada kualitas dan harga jual yang tinggi dibandingkan produk pertanian konvensional.
"Untuk memaksimalkan ketahanan produk pertanian organik, selama ini petani menggunakan cara seadanya. Itu juga belum cukup," ujarnya.
Wakil Rektor Institut Pertanian Bogor Hermanto Siregar mengatakan pemerintah perlu menambah anggaran untuk melakukan penelitian khusus tanaman organik.
Hal tersebut, katanya, akan berguna untuk mencarikan solusi tepat sasaran dalam menemukan skema pemberantasan hama yang banyak menghilangkan kuantitas pada tanaman organik.
“Pemerintah juga harus membuat kebijakan tentang cara pemasaran hasil produk pertanian organik, jangan sampai ketika produksi melimpah, pasarnya tidak tidak ada,” ujarnya.