Bisnis.com, JAKARTA—Penduduk lebih dari 200 juta jiwa menjadi pemikat alami bagi investor asing untuk membenamkan modal di Indonesia. Nilai tambah dari potensi pasar domestik ini seolah menutupi minus dalam berbagai hal lain.
Dirjen Kerja Sama Industri Internasional Kementerian Perindustrian Agus Tjahajana menyatakan belum tentu sejumlah investasi asing yang masuk ke Tanah Air merupakan efek samping dari jalinan kemitraan ekonomi dengan negara lain.
"Bisa ada korelasi, bisa juga tidak. Tapi pada dasarnya negara kita memang menjadi tujuan investasi yang menarik," katanya, Selasa (14/10/2014).
Berdasarkan data Bank Dunia yang diolah Kementerian Perindustrian, pada tahun ini kinerja logistik RI menduduki ranking ke-53. Sementara Vietnam, Thailand, dan Malaysia saja berada di posisi lebih baik, yakni ke-48, ke-35, dan ke-25 dari 160 negara.
Bukan cuma itu peringkat sektor infrastruktur RI juga kalah, yakni berada di urutan ke-56. Padahal Vietnam saja mendapatkan peringkat ke-44, Thailand ke-30, sedangkan Malaysia ranking ke-26.
Untuk pangsa pasar skala Asean, RI berada di urutan wahid. Namun, untuk memulai usaha di negara ini sukar sehingga peringkat kemudahan melakukan bisnis RI jeblok di urutan ke-120 dari 128 negara.
"Kita masih memiliki waktu untuk memperbaiki. Sekarang kita sedang kalah, bukan berarti kita harus mundur tetapi kita harus maju dan mempercepat perbaikan itu," tutur Agus.
Rerata tarif bea masuk di Indonesia 6,8% termasuk persentase yang terbilang rendah. Tapi ini tak menyurutkan minat negara lain untuk menjalin perdagangan bebas. Mereka menangkap peluang untuk memasuki pasar domestik, bukan menjadikan RI pemasok.
Indonesia-Jepang Economic Partnership Agreement (IJEPA) dan China-Asean Free Trade Area (CAFTA), misalnya, justru membuat neraca perdagangan sektor manufaktur nasional defisit. Neraca dengan negara mitra lain memiliki potensi defisit lebih besar.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) yang diolah Kemenperin selama pada 2013 menunjukkan neraca dagang produk industri dengan beberapa negara defisit.
Perinciannya antara RI dan Asean US$13,2 miliar, dengan China defisit US$7,2 miliar, Selandia Baru US$336 juta, Korea Selatan US$181 juta, dan Australia US$668 juta.
"Itulah kenapa kita perlu hati-hati untuk melakukan kerja sama perjanjian bilateral, harus hitung lagi keuntungan dan kelemahannya," ucap Agus.
Menurutnya ada tiga hal dalam kemitraan ekonomi dengan negara lain yang perlu diperhatikan, yaitu akses pasar, kooperasi, dan fasilitasi. Apabila tiga hal ini tidak berjalan saling menguntungkan maka kerja sama yang ada perlu ditinjau ulang secara menyeluruh.