Bisnis.com, JAKARTA— Pebisnis makanan dan minuman didesak meningkatkan standardisasi produksi untuk memenuhi permintaan produk yang nikmat sekaligus menyehatkan.
Lena Prawira, Wakil Ketua Gapmmi, mengatakan hambatan industri mamin untuk bersaing dalam kancah internasional adalah berkenaan standardisasi produk dan mahalnya produk akibat ketergantungan bahan pangan impor yang tinggi atau diatas 50%.
Menurutnya, dengan adanya peningkatan standardisasi mengakibatkan pelaku industri harus menambah investasi guna menyesuaikan dengan syarat yang ada. Misalnya, perubahan saran produksi yang harus dibenahi, mulai dari pendingin ruangan, lampu, dan sebagainya.
“Regulasi dan aturan mengenai pangan di Indonesia semakin banyak, hal itu mengharuskan kami mencari inovasi produksi guna tetap menjaga rasa maupun kualitas produk. Akan tetapi ditengah beberapa bahan baku dan pendukung yang masih impor akhirnya harga produk kita lebih mahal,” tuturnya di sela-sela konferensi pers Pameran Food Ingredient Asia 2014 Ke-3 di Jakarta, Rabu (1/10/2014).
Hasil survey dari International Food Information Council, konsumen dunia memilih meningkatkan konsumsi kandungan Serat, biji-bijian, protein, kalsium dan omega-3, sedangkan mengharapkan mampu mengurangi konsumsi garam, gula, kalori, lemak dan kafein. Organisasi yang berada di Amerika Serikat ini memberikan informasi berbasis ilmu pengetahuan kesehatan, gizi dan keamanan pangan bagi publik.
Pada 2014 Badan Pengawas Obat dan Makanan mengeluarkan peraturan tentang bahan tambahan pangan (BTP) yang tertuang dalam Peraturan Kepala (Perka) BPOM No. 4/2014 tentang Batas Maksimum Penggunaan Bahan Tambahan Pangan Pemanis.
Selain untuk aturan penggunaan bahan dalam proses produksi, beleid mengenai informasi nutrisi dalam kemasan juga tertuang dalam Peraturan Menteri Kesehatan No. 30/2013 tentang Pencantuman Informasi Kandungan Gula, Garam dan Lemak serta Pesan Kesehatan untuk Pangan Olahan dan Pangan Siap Saji.
Memandang hal tersebut, Lena menuturkan pelaku industri menyambut baik sehingga tanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan pangan yang tidak hanya nikmat tetapi juga sehat dapat terlaksana. Hanya saja, peningkatan standar kualitas produk sulit terealisasi akibat banyaknya pelaku usaha IKM yang tidak mampu mengikuti secara financial ataupun tidak mengerti peraturan terbaru yang ditetapkan.
“Untuk perusahaan besar dengan mudah bisa menyesuaikan, tergantung cara mereka mencari bahan alternatif untuk penggantinya. Tetapi kalau IKM, dengan dana yang terbatas, ataupun keterbatasan informasi akhirnya mereka tidak bisa mengikuti,” katanya.