Bisnis.com, JAKARTA - Ditjen Bea dan Cukai kembali menurunkan target penerimaan bea keluar dari sebelumnya Rp16 triliun menjadi sekitar Rp13 triliun atau 60% dari target APBN-Perubahan 2014 sebesar Rp21 triliun.
Direktur Penerimaan, Peraturan Kepabeanan dan Cukai Ditjen Bea dan Cukai Susiwijono Moegiarso mengatakan penurunan prediksi tersebut didorong kian melemahnya harga andalan komoditas ekspor kedua Indonesia, yakni minyak kelapa sawit (crude palm oil/CPO).
“Mau gimana lagi, permintaan CPO dunia memang masih belum bagus. Apalagi tarif bea keluar CPO pada Oktober mendatang sebesar 0%. Ya sudah, artinya tidak ada lagi penerimaan bea keluar CPO untuk Oktober,” ujarnya ketika dihubungi.
Seperti diketahui, Kementerian Perdagangan memastikan bea keluar untuk CPO pada periode Oktober 2014 akan dinolkan, dengan alasan menjaga daya saing produk CPO Indonesia lebih kompetitif di pasar internasional.
Hingga saat ini, produk CPO RI dinilai kalah bersaing dibanding Malaysia akibat faktor perbedaan besaran bea keluar. Di negara dengan ibu kota Kuala Lumpur itu, bea keluar CPO dapat ditekan dari 8% ke 4% ketika harga CPO menyentuh ambang batas 2.250 ringgit.
Bahkan, pemerintah Malaysia tidak ragu menghapus bea keluar ketika harga CPO terpeleset di bawah ambang batas psikologis tersebut. Dengan demikian, harga CPO asal Malaysia menjadi lebih murah dibanding Indonesia.
Di lain pihak, tarif bea keluar CPO sejak awal tahun ini fluktuatif. Pada Januari 2014, tarif bea keluar tercatat 12%, Februari dan Maret sebesar 10,5%, April sebesar 13,5%, Mei sebesar 12%, Juni 2014 sebesar 12%, Juli sebesar10,5% dan Agustus tercatat 10,5%.
Berdasarkan hitungan Ditjen Bea dan Cukai, rata-rata tarif bea keluar CPO pada semester I/2014 sebesar 11,75%. Adapun, tarif bea keluar CPO September 2014 sebesar 9% dengan harga referensi US$810,63/MT.
Susiwijono mengungkapkan ekspor CPO dan turunan CPO merupakan penyumbang terbesar penerimaan bea keluar. Hingga akhir Agustus 2014, ekspor CPO telah menyumbang sekitar 93% dari realisasi penerimaan bea keluar sebesar Rp9 triliun.
Data realisasi penerimaan bea keluar hingga Agustus 2014 menyebutkan tiga Kanwil penghasil bea keluar CPO terbesar a.l. Kanwil Riau dan Sumatera Barat menyumbang Rp3,92 triliun, Kanwil Sumatera Utara sebesar Rp1,2 triliun dan Kanwil Sumatera Selatan sebesar Rp1,69 triliun.
Dia menilai penerimaan bea keluar paling sulit dikontrol pemerintah dibandingkan dengan penerimaan lainnya seperti bea masuk atau cukai. Hal itu dikarenakan faktor eksternal menjadi faktor paling dominan dalam mempengaruhi penerimaan bea keluar.
Di samping itu, kebijakan hilirisasi mengakibatkan pergeseran jenis komoditi ekspor dari CPO ke produk turunan CPO, dengan tarif bea keluar yang jauh lebih rendah. Pada, 2012, komposisi volume ekspor CPO dan turunannya sebesar 37% dan 63%.
Susiwijono memperkirakan tren kenaikan ekspor produk turunan CPO akan terus berlanjut pada tahun ini dengan komposisi CPO sebesar 25% dan produk turunan CPO sebesar 75%. Alhasil, tren perubahan komposisi tersebut berpotensi menurunkan penerimaan bea keluar.