Bisnis.com,SEMARANG—Greenpeace Indonesia menilai mega proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Batang dengan kapasitas 2x1.000 megawat (MW) bakal mengancam lahan perikanan dan pertanian produktif di wilayah Batang yang selama inimenjadi penopang pangan wilayah setempat.
Didit Haryo Wicaksono, Koordinator Akar Rumput Greenpeace Indonesia, mengatakan PLTU yang menggunakan batu bara sebagai sumber energi akan mengancam program kedaulatan pangan yang disebut-sebut sebagai program prioritas oleh Presiden terpilih Joko Widodo. Apalagi saat ini Indonesia masih mengalami defisit pangan, sehingga pemerintah melakukan impor pada komoditasberas dari berbagai negara.
“Kami bersama warga Batang mendukung kedaulatan pangan. Namun satu sisi, ada proyek PLTU yang bisa mengancam hasil bumi dan laut,” papar Didit, Senin (22/9/2014).
Dia mengungkapkan pembangunan PLTU di Batang merupakan salah satu contoh proyek Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) yang mengancam kedaulatan pangan, budaya pertanian Indonesia. Proyek ini, ujar Didit,juga mengancam mata pencaharian masyarakat petani, nelayan, serta pekerjaan turunan dari pertanian dan perikanan tangkap.
Proyek kerja sama pemerintah dan swasta yang ditandatangani pada 6 Oktober 2011 rencanananya dibangun di atas lahan pertanian produktif seluas 226 hektar. Namun tercatat sejak awal 2012 warga sudah mulai melakukan penolakan sehingga PT BPI telah dua kali gagal memenuhi tenggat waktu pencairan pinjaman investasi yang ditetapkan oleh JBIC (Japan Bank for International Coorperation), dan memaksa PT Bhimasena Power Indonesia (BPI) untuk mengumumkan keadaan kahar (force majeure).
BPI merupakan konsorsium yang terdiri dari dua perusahaan jepang dan satu perusahaan Indonesia, J-Power dengan kepemilikan saham 34%, Itochu 34%, dan PT Adaro Power yang merupakan anak usaha Adaro Energy yang memiliki saham 32%.