Bisnis.com, JAKARTA — Demi mengurangi tekanan terhadap nilai tukar rupiah ke depan, pemerintah memaksa perusahaan BUMN melakukan transaksi lindung nilai (hedging) dalam pinjaman berdenominasi asing sesuai dengan pedoman Standar Operating Procedures (SOP) yang disepakati.
Meski tidak dijelaskan secara detail, konsep pedoman SOP yang disepakati tersebut mencakup tiga hal a.l.pertama, pedoman penyusunan SOP hanya diperuntukkan untuk perusahaan BUMN. Kedua, pedoman SOP ini hanya untuk transaksi hedging yang mencakup risiko nilai tukar.
Ketiga, pedoman SOP berisikan pengaturan-pengaturan minimun yang harus ada pada setiap tahapan dalam transaksi hedging, yakni tahap persiapan, pelaksanaan, monitoring, penyelesaian, evaluasi hingga tahap dokumentasi.
Nantinya, konsep pedoman SOP tersebut akan menjadi rujukan dalam revisi Peraturan Menteri Keuangan (PMK), Peraturan Bank Indonesia (PBI) dan Peraturan Menteri BUMN terkait transaksi lindung nilai.
Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Rizal Djalil mengatakan adanya SOP tersebut akan menghilangkan keraguan dari perusahaan BUMN untuk melakukan transaksi lindung nilai guna meminimalisir membengkaknya utang akibat selisih kurs.
“Dulunya kan direksi BUMN takut melakukan hedging karena khawatir disebut kerugian negara. Nah sekarang sudah ada SOP yang juga disepakati KPK, Bareskrim dan Kejaksaan. Jadi kalau ada BUMN yang tidak mau hedging akan dipertanyakan,” jelasnya, Rabu (17/9/2014).
Rizal mengungkapkan pinjaman valas oleh entitas pemerintah, terutama perusahaan BUMN selama ini sangat besar. Porsi BUMN dalam pembelian valuta asing (valas) di pasar valas domestik sangat dominan, yakni sekitar 30%
Kendati demikian, hanya sedikit perusahaan BUMN yang melakukan transaksi lindung nilai dalam pinjaman valas. Alhasil, banyak perusahaan BUMN yang justru mengalami kerugian akibat selisih kurs seiring melempemnya nilai tukar rupiah.
Berdasarkan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) 2013 menyebutkan utang luar negeri 2013 tercatat Rp2.375 triliun, naik 20% dari tahun sebelumnya Rp1.981 triliun. Dari nilai tersebut, porsi utang akibat selisih kurs senilai Rp163,24 triliun, atau 41,43% dari total nilai kenaikan utang.