Bisnis.com, JAKARTA—Produk hilir kini mendominasi kinerja ekspor minyak kelapa sawit, padahal, pada tahun lalu porsi ekspor produk hilir mencapai 70%, sedangkan produk hulu hanya 30%.
Menteri Perindustrian M.S. Hidayat menyatakan kondisi tersebut menunjukkan ekspor minyak kelapa sawit sekarang lebih bernilai tambah. “Dalam empat tahun itu dibalik, sawit yang masuk ke industri pengolahan itu 70%, sedangkan hulunya 30%,” katanya, di Jakarta, Kamis (11/9/2014).
Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mencatat rerata ekspor minyak sawit dan produk turunannya berkontribusi sekitar 20% dari total nilai ekspor produk industri. Sepanjang tahun lalu, ekspor produk olahan sawit tercatat US$20,6 miliar. Sementara pada semester I/2014 nilainya sebesar US$11,63 miliar.
Rasio volume ekspor minyak sawit dibandingkan dengan produk olahannya kini 30 : 70 terdorong dari sekitar 14 perusahaan yang merambah lokalisasi pengolahan produk rerata menjadi minyak goreng dan margarin. Investasi itu tidak hanya penanaman modal baru tetapi juga ekspansi bisnis yang ada.
“Dalam membuat industri harus pikirkan konsumennya, harus ada merek yang dikenal apalagi kalau mau ekspor. Branding ini harus dilakukan dan pemerintah harus ikut campur,” ucap Hidayat.
Selain pengolahan menjadi minyak dan lemak nabati juga ada yang masuk ke sektor oleochemical. Penanaman modal segar maupun ekspansi bisnis di sektor pengolahan minyak sawit pada 2013 hingga tahun ini berkisar US$2,7 miliar.
Guna mendongkrak kinerja industri hilir kelapa sawit pemerintah memfasilitasi dalam insentif fiskal berupa tax allowance, tax holiday, dan pembebasan bea masuk untuk impor mesin. Kelonggaran pajak ini sejalan dengan penetapan bisnis pengolahan minyak sawit sebagai sektor prioritas.
Hal tersebut merujuk kepada Peraturan Persiden No.28/2008 dan Peraturan Menteri Perindustrian No. 13/2010. Dasar pertimbangannya adalah ketersediaan bahan baku yang melimpah.
Sejumlah produk hasil industri pengolahan minyak sawit, contohnya minyak dan lemak nabati untuk pangan (oleofood), produk nonpangan / bahan kimia berbasis minyak sawit (oleochemical), dan bahan bakar nabati seperti biodiesel dari minyak sawit.
Negeri Garuda merupakan produsen minyak sawit mentah (CPO dan CPKO) terbesar di dunia. Pada 2020 produksi CPO nasional diramalkan mencapai 40 juta ton lantas naik menjadi lebih dari 60 juta ton pada 2030.
“Hal itu tidak menjadi masalah karena bisa dilakukan melalui ekspansi lahan. Nah, lahan produksi ini ada atau tidak, itu yang sedang dibicarakan,” ucap Hidayat.
Industri pengolahan di dalam negeri sekarang mampu menghasilkan lebih dari 154 jenis produk hilir berbasis minyak sawit. Jumlah itu setara lebih dari separuh total jenis produk hilir minyak sawit, baik CPO maupun CPKO, yang mencapai 300 jenis.
Sekretaris Direktorat Jenderal Industri Agro Kemenperin Abdul Rohim menjelaskan peningkatan bisnis produk hilir berupa minyak goreng pada umumnya bukan investasi baru. Produk ini biasanya berupa peningkatan utilisasi kapasitas produksi terpasang.
“Sebelum hilirisasi utilisasi baru sekitar 40% kalau sekarang sudah di atas 75% utilisasinya. Ini tidak butuh investasi baru, memanfaatkan kapasitas terpasang saja,” ucapnya.
Perubahan struktur bea keluar (BK) produk sawit dan olahannya menjadi lebih rendah mendorong pebisnis meningkatakan utilisasi produksi. Kebijakan ini membuat BK crude palm oil (CPO) semakin ke hilir semakin rendah bahkan bisa jadi nol.
Kini ekspor CPO menggunakan skema BK progresif antara 0% - 22,5%. BK CPO paling rendah sekarang ini 7,5% untuk harga referensi US$750 – US$800 per ton. Sementara yang 22,5% untuk harga referensi US$ 1.250 per ton ke atas. Sedangkan BK untuk 32 produk turunan CPO sebesar 0% - 15%.
Peraturan soal bea keluar CPO merujuk kepada Peraturan Menteri Keuangan No 75/PMK.011/2012 tentang Penetapan Barang Ekspor yang Dikenakan Bea Keluar dan Tarif Bea Keluar. BK CPO Agustus 2014 di kolom 4 lampiran II PMK 128/2013 ditetapkan 10,5% alias sama dengan BK pada Juli 2014.
“Kan minyak goreng bea keluarnya lebih rendah daripada CPO, jadi lebih baik diproses dulu di sini [sebelum ekspor],” ucap Abdul.
Kemenperin mengklaim BK progresif hulu – hilir mampu menjamin ketersediaan bahan baku minyak sawit bagi industri hilir. Pada sisi lain juga membantu mengamankan pasokan dan harga minyak goreng domestik.
Salah satu strategi percepatan lokalisasi pengolahan kelapa sawit ditempuh melalui peningkatan kebutuhan bahan bakar nabati (BBN) biodiesel untuk mensubtitusi solar. “[Selain minyak goreng] yang utilisasinya naik adalah biodiesel,” ucap Abdul.
Kewajiban penggunakan 10% biodiesel mendorong peningkatan kapasitas produksi menjadi 8,99 juta kiloliter pada 2015 dari 5,67 juta kiloliter pada 2014. Salah satu upaya peningkatan pemanfaatan bahan bakar nabati ini melalui transformasi adaptasi mesin otomotif dan mesin industri lain.