Bisnis.com, JAKARTA-- Stagnasi angka kelahiran total selama 10 tahun terakhir mempersempit kesempatan Indonesia untuk menikmati puncak bonus demografi dan jendela peluang yang seharusnya menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi secara nasional.
Hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2012 menunjukkan angka kelahiran total atau total fertility rate (TFR) sebesar 2,6 anak per wanita. Tingkat TFR tersebut meningkat dari capaian 2010 sebesar 2,41 atau naik tipis dari capaian pada 1999 sebesar 2,59.
Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Fasli Jalal mengatakan capaian TFR yang cenderung konstan berakibat beban yang ditanggung penduduk usia produktif makin sedikit.
Kegagalan menurunkan angka fertilitas akan memperbesar proporsi penduduk non-produktif dan berdampak pada meningkatnya angka ketergantungan, ujarnya saat menyampaikan orasi ilmiah dalam sebuah acara penghargaan di auditorium Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Hasil sensus penduduk 2010 yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan jumlah penduduk Indonesia mencapai 237,6 juta jiwa atau mengalami peningkatan 15,21% dari jumlah penduduk pada 2000 yang mencapai 206,3 juta jiwa.
Capaian tersebut, lanjut Fasli, menunjukkan adanya peningkatan jumlah penduduk sekitar 3,5 juta jiwa dari proyeksi berdasarkan sensus penduduk pada 2000.
Menurutnya, dengan adanya fertilitas yang stagnan, jendela peluang diperkirakan akan terjadi dalam durasi yang lebih singkat, yakni 4 tahun pada 2008-2031 dengan angka ketergantungan (dependency ratio) 47 orang anak dan lansia per 100 orang usia produktif.
Padahal, semula jendela peluang diproyeksikan akan terjadi selama 10 tahun pada 2020-2030 dengan angka ketergantungan sebesar 44 orang anak dan lansia per 100 orang usia produktif.
Rapor merah program kependudukan dan keluarga berencana (KKB) dikarenakan ketiadaan kelembagaan/SKPD yang mandiri untuk mendukung program tersebut sehingga melemahkan komitmen sebagian besar pemerintah daerah terhadap program KB.
Kondisi ini, sambungnya, diperparah dengan terbatasnya anggaran yang disediakan dalam APBD untuk KBB di saat masih adanya ideologi sebagian masyarakat terkait kesejahteraan yang berujung pada penolakan program KB.
Jika masih demikian, sulit bagi pemerintah untuk memastikan program KKB terlaksana dengan efektif di 511 kabupaten dan kota yang sudah otonom. Inilah penyebab utama dari stagnasi TFR dan LPP, ujarnya.