Bisnis.com, JAKARTA – Kalangan pengusaha menyayangkan keputusan Mahkamah Agung terkait Peraturan Pemerintah nomor 31 tahun 2007 mengenai pengenaan pajak pertambahan nilai 10% pada produk pertanian, perkebunan dan kehutanan pada 23 April yang ditindaklanjuti oleh surat edaran Kementerian Keuangan terhitung pada 22 Juli lalu.
Menurut Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) Purwadi Suprihanto seharusnya ada koordinasi dari pemerintah dalam jangka waktu tiga bulan tersebut kepada para asosiasi dan petani untuk menetapkan produk-produk yang memang tepat dikenakan pajak.
“Tiga bulan kan cukup lama ya, selama itu tidak ada proses konsultasi kepada kita mengenai produk-produk kehutanan seperti apa yang memang tepat untuk dikenakan,” katanya saat dihubungi Bisnis, Kamis (21/8/2014).
Purwadi menjelaskan tidak transparannya keputusan pemerintah tersebut akan cepat berdampak terhadap kinerja sektor hulu dan hilir. Contohnya, selama ini tersedia 21 juta meter kubik (m3) hutan kayu alam yang dapat ditebang, namun hanya 4 juta m3 saja yang dapat diproduksi karena harga Rp 1,2 juta/m3 dirasa masih tinggi.
“Apalagi juka ditambah PPN 10%? Sementara sektor hilir kemampuan menyerap untuk lebih tinggi masih tidak mampu. Dengan adanya tambahan bebas, tentu semakin mengurangi daya harga jual sektor hulu, khususnya kemampuan industri dalam menyerap tingginya harga kayu alam dalam negeri,” tuturnya.
Menurutnya, pasar hasil hutan alam tetap akan berjalan karena kebutuhan,namun dia mengatakan pemerintah sebaiknya menyeleksi produk-produk mana yang memang tepat dikenakan pajak, karena penambahan PPN akan sangat membebani pasar dalam negeri yang belum mencapai ekspektasi.
“Harusnya mereka menyeleksi produk mana yang punya elastisitas terhadap penawaran dan permintaan,” katanya.