Bisnis.com, JAKARTA - Beban subsidi energi (BBM dan kelistrikan) yang dialokasikan Rp363,5 triliun sesuai dengan RAPBN 2015 serta APBN-P 2014 yang ditetapkan sebesar Rp454 triliun dinilai perlu langkah besar berupa berani melakukan penaikan harga BBM dengan skema berbagi beban antara pemerintah Kabinet Indonesia Bersatu jilid II dan baru (hasil pemilu 2014).
Anggota Komisi VII DPR Dito Ganindito mengemukakan tantangan perekonomian Indonesia terutama di sektor energi ke depan cukup berat. Selain masalah subsidi BBM yang begitu besar juga rendahnya eksplorasi dan produksi migas yang terus menurun.
“Ini tantangan yang dihadapi dan harus ada jalan keluarnya. Opsi yang dipilih tidak lain adalah dengan naikkan harga BBM. Polanya bisa dengan berbagi atau dua tahap, Pertama, di masa pemerintahan SBY, dan berikutnya pemerintah baru sehingga harga BBM benar-benar di titik keekonomian,” ujarnya kepada Bisnis.com, Selasa (19/8/2014).
Pendapat senada juga diungkapkan Komaidi Notonegoro, pengamat energi asal Reforminer Institute. Dia mengakui dengan sisa waktu hanya dua bulan memang tidak banyak yang bisa dilakukan Pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono.
Namun, dia menilai relatif tidak ada solusi selain dengan menaikkan harga BBM secara bertahap. “Idealnya bebannya dibagi agar penaikkannya tidak terlalu besar dan menyengsarakan rakyat. Namun, sisa waktu dua bulan bagi SBY tentu itu sulit dilakukan, apalagi penaikkan harga BBM harus dibahas oleh DPR.”
Menurutnya, beban subsidi energi yang besar akan menciptakan APBN yang tidak produktif, apalagi penerima subsidi energi terutama subsidi BBM adalah kelompok mampu (pemilik kendaraan pribadi).
Di sisi lain, produksi pemerintah telah menetapkan target lifting minyak pada APBN 2015 sebesar 845.000 barel per hari (BOPD). Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) sendiri tetap merasa optimistis bisa memenuhi target lifting itu.
Namun, bagi Komaidi tidak sependapat karena tren produksi minyak turun, dan impor naik terus. “Masalah itu harus segera diatasi. Jika tidak, masalah yang akan muncul bukan hanya aspek fiscal tetapi juga moneter," ujarnya.